"Kamu aneh banget tahu nggak sih belakangan ini, Yang."
Aku tertawa kecil mendengar pertanyaan dari Evan, memang sejak beberapa hari yang lalu aku merubah semua kebiasaanku, sekian lama aku tidak pernah mengambil cuti karena hal itu terasa sia-sia disaat Evan nyaris tidak mempunyai libur bahkan di hari weekend sekalipun, maka sejak seminggu ini aku menghabiskan waktu untuk membahagiakan diriku dengan uang Evan, membeli setiap hal yang kusuka tanpa memikirkan harganya.
Hal yang selama ini tidak pernah kulakukan karena takut merepotkannya. Bukan hal yang mudah untukku mendapatkan ijin di tengah pameran yang sedang berlangsung, tapi prestasiku selama mengabdi di PH, dan sedikit curhatan pada atasanku, akhirnya ijin cuti itu diberikan.
"Aneh gimana sih, memangnya hal aneh kalo datang ke kantor suamiku?"
Aku menggandeng lengannya erat, membuat beberapa karyawan magang, entah pengacara muda atau staff Admin mencibir atas kelakukanku, sesuatu yang hanya kubalas dengan senyuman sinis.
Aku tidak tahu bagaimana belangnya Evan diluar sana, tapi setidaknya, akulah yang menyandang gelar sebagai istri sahnya.
Selama nyaris satu minggu ini aku merasa seperti berada di jurang kematian, berusaha bersikap semuanya baik-baik saja dan melayaninya layaknya istri yang tidak tahu jika selama ini cintanya pada Sang Suami telah terkhianati.
Evan, tidak ada satupun gerak-geriknya yang mencurigakan dimataku, begitu apik, dan begitu rapinya sandiwara yang dia mainkan.
"Ya nggak aneh sih, tapi biasanya kamu sibuk sama kerjaan kantormu, lihat berkasku aja kamu udah puyeng, ini tumben-tumbenan kamu ikut aku. Biasanya daripada dengerin kasusku, kamu lebih milih mikirin promo apa yang tepat buat raih target teammu. Kadang bahkan aku ngerasa yang jadi suamimu itu pekerjaanmu, bukan aku."
Aku mencibir kalimatnya yang seolah menyalahkan kesibukanku, selama ini Evan tidak pernah berkaca jika ambisinya dalam meraih karier membuatnya abai padaku, jika dia merasa pekerjaanku menganggu, Evan bisa langsung mengatakannya padaku, bukan sekian lama baru sekarang dia mengutarakannya.
"Ya sudah, jika memang pekerjaanku ganggu kamu, aku juga bakal resign."
"Ini yang bikin aku nggak mau negur kamu, kamu bakal langsung marah kayak gini. Emang bener kan kalo kamu marah."
Kulepaskan gandenganku darinya, membuat Evan tahu jika apa yang dikatakannya menyinggungku, dengan tatapan datar aku menatap laki-laki yang masih menjadi suamiku ini, merasa semakin yakin atas keputusan yang cepat atau lambat akan terealisasi.
"Sebenarnya kamu tinggal bilang, dan aku akan dengan senang hati melakukannya. Sudah aku bilang berulangkali kan, apapun masalah diantara kita, kamu tinggal bilang dan kita akan menyelesaikan semuanya bersama, bukannya malah menyimpan masalah itu dan menyuarakannya sekarang menjadi sesuatu yang besar."
Tidak ingin memperpanjang percakapan yang akan berujung pada perdebatan ini aku memilih memotongnya lebih dahulu, "Kamu merasa keberatan kan kalo aku kerja, maka sekarang, jamin hidupku dengan semua pengalihan semua asetmu, tanpa kecuali padaku."
"Maksudnya gimana, Yang? Kamu mau aset yang mana?" Sungguh aku ingin tertawa sekarang ini melihatnya yang mulai agak syok karena permintaanku tempo hari benar-benar serius.
Dengan menahan geli aku menangkup wajahnya, menyentuh wajah tampan yang seringkali membuat para perempuan tergoda.
"Semua asetmu, Yang. Tanpa terkecuali, aku sudah bilang ke Mama mertua soal usulku ini, kamu mulai keberatan dengan beban kerjaku, kan. Maka aku minta jaminan masa depan untukku dan anak kita nantinya, toh nggak ada bedanya semua aset jadi namaku atau namamu, kita itu suami istri kan? Berbagi semuanya, milikku adalah milikku, tapi milikmu adalah milikku juga."
Evan syok, benar-benar mematung tanpa ekspresi sama sekali, seolah dia tidak percaya seorang yang tidak pernah menuntutnya apapun justru kini merampoknya dengan kejam.
"Kecuali jika kamu keberatan karena mungkin saja kamu ada rencana untuk meninggalkanku, enggak kan?"
Evan menggeleng, tanpa ada jawaban dari wajahnya yang sudah sepucat mayat.
Tidak cukup hanya membuat Evan terkejut atas permintaanku, kini aku mengeluarkan opsi terakhir yang membuatnya tidak akan bisa membuatnya untuk meragu lagi.
"Aku nggak maksa kok, Yang." kuulurkan ponselku padanya, memperlihatkan kontak telepon dari Mamanya sendiri yang langsung disambut dengan pandangan ngeri, "Kalo kamu keberatan, kamu boleh bilang langsung ke Mamamu, karena sejak awal, sebelum kamu tadi bilang soal keberatanmu aku bekerja, Mamamu yang usul ini untuk menjamin hidup Menantu dan Cucunya. Sekarang kamu tinggal tanda tangani berkas yang sudah disiapkan pengacaraku, karena memang ini tujuanku ikut kamu kesini, Sayang."
🐱🐱🐱🐱🐱🐱🐱🐱🐱🐱🐱🐱🐱🐱
"Kamu mau benar-benar melakukan hal ini?"
Baru saja aku menyelesaikan urusanku di Batalyon tempat Kapten Aria mengenai Mobil Batalyon yang agak penyok karena ulahku, aku sudah di todong oleh pertanyaan dari Kapten Aria.
"Ngelakuin apa, Kapten?"
Helaan nafas panjang terdengar dari Kapten menawan di depanku ini, wajahnya yang tegas dan dingin justru membuatnya kharismatik, tidak heran jika beberapa perempuan muda, entah dari penghuni Asrama Batalyon ini atau bukan, menatapku dengan pandangan mencibir karena pandangan penuh perhatian dari seorang Kapten Aria.
"Chat yang kamu kirimkan Anye, perihal kamu mau serius mau ke kantor Pengacara keluargaku buat langkah alih aset."
Aku mengangguk mantap, sebelum aku basah menangkap perselingkuhan Evan, aku ingin menyiapkan segalanya lebih dahulu, memastikan Evan akan membayar mahal jika sampai benar dia menyakitiku.
Dan kini surat kuasa pengalihan aset sudah ada di tanganku, aku tidak akan bertindak bodoh dengan menyia-nyiakannya.
Kepalaku sudah pening memikirkan semua ini, rasanya nyaris meledak saat harus merasakan kesedihan yang tidak terkira, memikirkan begitu banyaknya hati yang akan terluka nantinya jika sampai perpisahan itu terjadi.
Karena aku yakin, seperti Allah yang dengan cepat menunjukkan buruknya suamiku, maka tidak lama lagi, aku akan melihat keburukan itu sendiri, terlebih sekarang Sahabatku yang tanpa harus kuminta sudah dengan senang hati memantau ponsel Evan, jangankan Evan, Sahabatku yang merupakan Istri dari Putra Presiden sekaligus Kowad cantik itu, bisa mencari semut yang telah mencubit anaknya dimanapun semut tersebut menyembunyikan diri, hanya tinggal menunggu waktu untuk menangkap basah busuknya suamiku.
Untuk itu aku ingin menyiapkan diri, aku tidak ingin berakhir menyedihkan, berakhir dengan tangis yang menghiba dan meminta suamiku untuk tidak meninggalkanku.
Aku tidak ingin berakhir dengan kemenangan bagi mereka yang mengusik rumah tanggaku. Katakan aku jahat, katakan aku matrealistis. Tapi aku ingin meninggalkan Evan dalam keadaanya yang menyedihkan agar dia juga merasakan sakitnya menjadi diriku.
"Tentu saja aku serius, Kapten Aria." aku mengikutinya masuk kedalam mobil, seperti janjinya untuk menemaniku menemui Pengacara Keluarganya. "Jika ada yang tidak bisa kutoleransi dalam pernikahan adalah kekerasan dan perselingkuhan. Dia sudah melakukan salah satunya, maka dia harus merasakan balasan yang setimpal, tidak ada maaf."
Kembali aku memejamkan mata, menahan mual yang sudah beberapa hari ini kurasakan, belum lagi dengan wangi jeruk lemon mobil Kapten Aria yang menyengat masuk kedalam hidungku.
Rasanya aku sudah tidak peduli jika Kapten Aria menilai ku sebagai seorang perempuan jahat atau matre sekalipun, karena rasa kecewaku sudah membuat perasaanku serasa menjadi batu.
"Aku akan jauh lebih jahat bagi mereka yang menyakitiku, Kapten. Jika toh Suamiku orang baik dan tidak berkhianat, apa salahnya jika semua miliknya atas milikku."
Tanpa sadar air mataku menetes kembali, sekeras apapun aku berusaha membuatnya baik-baik saja, tetap saja rasanya menyakitkan.
"Sekarang aku benar-benar terlihat seperti seorang yang gila harta bukan?"
Genggaman erat kudapatkan dari sosok yang sedari tadi hanya diam di sebelahku, dari wajahnya yang resah kini dia menggeleng, memintaku untuk tidak melanjutkan kalimatku.
"Kamu nggak gila harta, Anyelir. Seekor semut saja akan melawan jika terinjak, apalagi kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Anyelir (Ready Ebook)
RomanceAnyelir kira pernikahannya adalah pernikahan paling sempurna, dua tahun dalam mahligai pernikahan dengan seorang Pengacara, tidak seharipun dia tidak bahagia walaupun pernikahan mereka belum di karuniai seorang buah hati. Evan Wijaya, begitu nama su...