6

4.4K 628 36
                                    

"Iya suami orang, atau jangan-jangan suami mbak?"

Perasaan amarah, takut jika benar Evan melakukan hal sehina itu membuat tubuhku gemetar. Aku akan memaafkan segala kesalahan Suamiku kecuali dua hal, yaitu kekerasan dan juga perselingkuhan.

Dan sekarang, seorang yang bahkan tidak kutahu namanya justru menanyakan hal yang mengejek harga diriku.

Perhatianku teralih saat dengan gaya anggunnya, perempuan yang tengah hamil tua itu mengangkat panggilan di ponselnya, senyum bahagia merekah diwajahnya, tanpa tahu malu diapun mengangkat telepon itu tepat di depan wajahku.

Memamerkan dengan bangga seorang yang disebutnya suami orang yang begitu royal.

"Gimana Babe, aku mau beli mobilnya cash. Transferin langsung ya."

Manik mata yang tengah memakai softlens abu-abu terang itu menatapku, entah kenapa aku merasa dia memang sengaja memperdengarkan apa yang dia katakan padaku.

"Memangnya kenapa kalo dari Brand OOOO? Aku nggak boleh pakai brand itu? Kamu tahu kan, aku mau segala hal yang dimiliki Istrimu, semua yang dia miliki harus aku miliki juga. Itu harga yang harus kamu bayar atas hal yang nggak bisa diberikan istrimu yang mandul itu."

Senyuman miring terlihat di wajah perempuan cantik ini, membuatku turut tersenyum juga dalam artian yang berbeda. Jika dia tersenyum padaku memperlihatkan betapa hebatnya dia dalam mengatur siapapun 'suami orang' tersebut dalam mengikuti permintaannya, maka aku tersenyum karena miris melihat betapa murahannya dia sebagai wanita.

Semahal apapun barang dimintanya, bagiku akan lebih berharga saat seorang perempuan diikat dalam satu hubungan penuh kehormatan, yaitu pernikahan. Satu hal yang membuat wanita berharga, bukan sekedar dihamili tanpa ikatan yang jelas.

Baiklah, sekarang ya Babe, karena Mbak Manager Marketing sedang memperhatikanku, memastikan jika aku benar-benar akan memiliki mobil termahal di tempat ini, atau hanya berbual saja.

"Silahkan selesaikan prosesnya ya, Kak. Saya masih ada pekerjaan lainnya."

Hampir saja aku berlalu dari hadapan perempuan menyebalkan ini jika saja dia tidak mencekal tanganku, satu kalimat tidak terlontar darinya.

"Kenapa pergi Mbak, Mbak belum jawab pertanyaan saya!" aku melepaskan tangan itu perlahan, bayangan tangan yang digunakan untuk menyentuh laki-laki yang merupakan suami orang lain membuatku mual sendiri.

Melihat wajahku yang mulai tidak nyaman membuatnya semakin terlihat ketus, "Pertanyaan yang mana yang harus saya jawab? Tentang yang berkaitan dengan barang kami, atau pendapat pribadi saya atas apa yang Mbak tanyakan?"

"Sebagai seorang yang bersuami," ekor matanya melirik jari manisku yang terpasang cincin nikahku, dalam beberapa hari ini, entah sudah berapa kali orang yang melihatnya, "bagaimana tanggapanmu, Mbak. Jika Suamimu ternyata satu diantara begitu banyak laki-laki yang memuja perempuan lain di belakangmu."

Entah kenapa sepertinya otaknya sudah pindah ke dengkul, dari tadi dia menanyakan hal ini padaku, sesuatu yang tidakku respon, dan masih saja kekeuh di tanyakannya.

Sebenarnya kenapa dengan perempuan satu ini? Jika seperti ini, mau tidak mau pikiran burukku jika benar tempo hari mobil dimana aku melihatnya adalah mobilnya Evan semakin menjadi.

Seluruh tubuhku terasa gemetar, jika tadi aku hanya membayangkan bagaimana sakitnya hati perempuan jika mendapati rumah tangganya di obrak-abrik benalu sepertinya, kini sudut hatiku terasa diremas, sakit jika mungkin saja laki-laki itu benar Evan.

Tidak! Benar atau tidak jika laki-laki itu adalah Evan, perempuan laknat seperti yang ada di depanku tidak akan berikan kesempatan untuk melihatku hancur akan ulahnya.

Senyumku mengembang lebar, meredam rasa bergejolak di dadaku, layaknya pemain sandiwara yang ulung, aku tidak akan membiarkan perempuan sampah sepertinya menang diatas perempuan bergelar seorang istri yang sah.

"Kenapa sih Anda berkeras ingin menanyakan pendapat saya?" aku bersedekap sama sepertinya, sopan santun yang sejak tadi kugunakan kini ku tanggalkan, "Jikapun Evan Wijaya, yaitu suami saya, memuja Anda dengan materi karena Anda mau dihamili tanpa dinikahi, maka saya akan dengan senang hati memberikan suami saya pada Anda."

Mungkin aku bisa tersenyum lebar saat mengatakannya, tapi percayalah, hatiku sangat hancur sekarang ini, duniaku serasa runtuh walaupun hanya karena memikirkan hal ini saja.

"Anda pikir saya akan menjambak Anda? Memaki-maki Anda karena sudah lancang menghancurkan rumah tangga saya?" kusentuh kerah dress wanita cantik ini untuk merapikannya, "Tidak, saya tidak akan melakukan hal itu pada Anda jika Anda yang mengganggu rumah tangga saya. Tapi Anda jangan senang dulu jika Anda tidak mendapatkan umpatan atau perlawanan dari Sang Istri yang terluka, karena percayalah, di saat yang terluka tidak mengumpat, maka dia sedang mengadukan kebusukanmu pada Pencipta Semesta, dan aku tinggal diam serta duduk manis menunggu takdir buruk menimpa wanita busuk sepertimu, dan suami bangsat seperti Suamiku."

"........"

"Busuk, itu kata yang tepat untuk perempuan yang mau dihamili tanpa dinikahi, derajat tertinggi seorang wanita adalah saat laki-laki menghalalkannya dalam sebuah pernikahan. Jadi jangan merasa bangga dan begitu dicintai hanya karena Sang lelaki memujamu dengan materi, tapi membuatmu terhina secara moril."

Aku mundur, merasa puas sudah mengeluarkan segala hal yang sejak tadi kutahan sejak dia berbicara dengan begitu bangga akan dirinya yang perusak hubungan orang.

Tawaku pecah melihat wajah merah padam dari perempuan menyebalkan di depanku, sangat bertolak belakang dengan wajah angkuhnya saat mencecarku tadi.

Dia ingin jawaban dariku bukan, maka baru saja dia mendapatkannya.

"Ayolah, Dek!" setengah mengejeknya yang usianya memang lebih muda dariku aku menepuk bahunya, membuatnya seolah-olah unu memang hanya candaan semata. "Jangan emosi kenapa, kan tadi pertanyaannya seandainya itu terjadi padaku dan Suamiku, bukan? Perempuan bodoh mana coba yang bertanya pendapat hal tersebut pada Istri sahnya."

"Semoga Anda masih bisa tertawa seperti sekarang jika satu waktu nanti Suami Anda akan memilih seorang yang busuk seperti saya karena saya bisa memberikannya apa yang tidak bisa Anda-Anda Istri sah berikan."

Senyum terpaksa terlihat di wajahnya, begitu canggung dan sarat keterpaksaan sebelum berlalu pergi dari hadapanku.

Lututku langsung lemas, setengah terhuyung aku duduk di salah satu kursi yang memang disediakan untuk para pengunjung.

Dengan kasar aku mengusap wajahku, begitu frustasi akan hal yang baru saja terjadi, topeng kuat, dan penuh ketegaran yang tadi terpasang kini lenyap seketika, pembicaraan dan pertemuanku dengan sosok yang tidak kukenal itu sukses menguras tenagaku.

Perempuan yang baru saja berlalu tadi, dia benar-benar seperti mengenalku, sengaja datang untuk menyakitiku, memberikan isyarat tersirat jika Suamiku tidak sebaik yang kupikir selama ini, isyarat yang menjawab firasat burukku beberapa hari ini ditambah kebohongan suamiku semalam.

Tanganku gemetar, sebelum akhirnya satu keputusan kecil kuambil, keputusan yang akan menenangkan hatiku, atau justru keputusan yang justru mengungkap hal yang selama ini di sembunyikan dengan rapat.

TBC

Anyelir (Ready Ebook)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang