"Mama!"
Suara panggilan gadis kecil berhidung mancung itu membuatku terhenyak dari lelapku, dan seketika, cerahnya awan dan segarnya udara taman langsung menyambutku.
Seumur hidupku, baru kali ini aku melihat gadis kecil secantik dirinya, berkulit kuning sepertiku, dan wajahnya, sekilas melihat aku seperti melihat Evan kecil di wajahnya, Evan versi mini dan perempuan, benar-benar duplikat dari wajah seorang yang begitu ingin kulupakan.
Bola mata indah itu mengerjap, seolah tahu apa yang kupikirkan di dalam pikiranku, mta itu berubah menjadi sendu.
"Mama benci aku karena Papa?"
Mama? Kenapa anak kecil secantik dirinya memanggilku Mama? Panggilan yang paling kudambakan selama dua tahun berumah tangga, panggilan yang membuatku harus rela melihat Suamiku mendua karena aku yang tidak sempurna.
Tanpa aku sadari, air mataku menetes, membayangkan betapa bahagianya aku jika gadis secantik dirinya adalah putriku, sumber bahagiaku, dan juga pelengkap hidupku. Sayangnya, hadir akan dirinya seolah mustahil, segala hal indah yang ada di depanku, mulai dari tempat seindah ini hingga hadirnya gadis kecil ini adalah sebuah bayangan semu semata.
Aku tahu apa yang ada di depanku bukanlah kenyataan yang sebenarnya, tapi disaat gadis kecil itu melangkah mendekat padaku, mengusap air mataku yang sudah meleleh tanpa bisa ku bendung, hangat telapak tangannya tersebut terasa begitu nyata, membuncah menyalurkan perasaan bahagia.
"Mama, jangan nangis Ma. Anak Mama nggak mau lihat Mama nangis lagi. Allah ngasih kesempatan buat Kakak ketemu sama Mama, biar Mama nggak sedih lagi.
Kesentuh telapak tangan mungil tersebut, membawanya pada bibirku untuk mengecup kepalan mungil nan harum ini, rasanya begitu menyakitkan saat kembali menyadari jika semua hal indah adalah pertanda satu hal yang musti berakhir, begitupun dengan gadis kecilku ini.
"Anak Mama yang cantik."
Senyuman indah merekah di wajah kecil tersebut, tampak begitu bahagia saat aku memanggilnya, hingga akhirnya, pelukan hangat kudapatkan, merengkuh puas-puas tubuh kecil tersebut kedalam dekapanku.
"Kakak sayang sama Mama! Allah pun sayang sama Mama, jadi Mama harus bahagia lagi, Mama nggak boleh sedih lagi, pokoknya Mama harus jadi Wonder Woman."
Dalam diamku aku hanya bisa mengangguk, mengiyakan setiap kalimat yang meluncur dari bibir indah tersebut.
Kembali kupandangi wajah indah tersebut, ingin sekali aku berteriak keras, memintanya agar tetap tinggal dan menjadi pelipur lara dari luka yang di torehkan Papanya, tapi gadis kecil itu kembali menggeleng.
"Kakak harus pergi Mama, memang ini yang sudah Allah tentukan, untuk Kakak, untuk Mama, dan teguran buat Ayah." senyum polosnya menjawab tanya di kepalaku, begitu manis saat dia memamerkan gigi kelincinya, tampak begitu bahagia, "Allah mau Kakak ada disampingNya, tapi tenang saja Mama," dengan kedua tangan mungilnya, gadis kecilku sekarang membentangkan tangannya, menunjukkan sesuatu yang begitu besar, "ada kebahagiaan yang begitu besar tengah Allah rencanakan buat membalas semua kebaikan Mama."
Kebahagiaan? Akankah aku masih bisa merasakan kebahagiaan tersebut setelah aku membuat banyak hati kecewa karena kandasnya rumah tanggaku, dimulai dari tangis Mama Anita, hingga mungkin saja Mama dan Papaku sendiri saat tahu perceraian akan menjadi akhir rumah tanggaku nantinya.
Kembali usapan kudapatkan di wajahku oleh sosok mungil ini, menggeleng menepis semua pikiran burukku.
"Orang sebaik Mama akan selalu mendapatkan kebaikan, Ma. Dan Kakak bahagia, mempunyai Mama sebaik Mama Anyelir."
🐱🐱🐱🐱🐱🐱🐱🐱🐱🐱🐱🐱
Putih.
Dan bau etanol yang begitu menyengat.
Dua hal yang menyapaku saat kesadaran mulai menguasaiku, rasanya kepalaku begitu pening, berkubang-kunang dan cahaya yang masuk kedalam mataku seolah berputar-putar.Dimana aku?
Sekeping potongan memori tentang bagaimana Evan kemarin kehilangan kendali berkelebat, terlebih saat rasa sakit yang menyerang perutku yang begitu hebat, hal yang membuatku kehilangan kesadaran."Anye!"
"Kamu sudah sadar, Nak?"
Berulangkali aku mengerjap saat melihat Mama dan Papa yang bergegas menghampiriku, dan saat aku sudah menguasai keadaan, tangis keras Mama pecah saat menghambur memelukku.
Bahuku kini terasa basah karena air mata Mama yang tumpah, tersedu-sedu penuh kepiluan sembari berulangkali menyebut namaku yang sejak tadi hanya diam mematung tanpa kata sedikitpun.
Bukan hanya Mama yang menunjukkan kesedihan, tapi Papa juga, sosok beliau yang merupakan seorang Bankir kini mengusap kepalaku dengan mata berkaca-kaca, tampak duka yang berusaha keras beliau sembunyikan saat memalingkan wajah tidak ingin menatapku.
Kembali hatiku terasa diremas dengan begitu kerasnya, luka yang belum sempat untuk beranjak sembuh kini harus kembali terkoyak kembali, tanpa harus diberitahu, aku sudah sadar jika hal buruk sudah terjadi padaku.
Mama menangkup wajahku, mengusapnya penuh kesedihan, mengingatkanku akan Mama yang akan menyampaikan sesuatu yang buruk jika sudah seperti ini.
"Anyelir, Sayang! Yang tabah ya, Nak. Belum rejeki Anye sekarang dia nggak ada, Anye nggak boleh nyalahin diri sendiri."
Tanganku tergerak menyentuh perut rataku, masih sama seperti sebelumnya, tidak ada yang berbeda, hanya nyeri yang terasa. Sepertinya baru beberapa jam lalu aku merasakan mual hebat karena pengharum mobil Aria, dan ternyata memang benar yang dikatakan Ibu-ibu tadi, aku benar-benar hamil.
Dan sekarang, saat aku tahu ternyata aku tidak mandul seperti yang dunia sebut padaku, aku telah kehilangannya?
Aku menatap Mama tidak percaya, tidak, tidak mungkin hidupku seburuk ini bukan, kehilangan anak dan suami dalam satu waktu. "Nggak, Ma! Nggak mungkin."
Air mataku menetes saat mengingat mimpiku barusan, bunga tidur yang begitu indah saat akhirnya ada sosok mungil yang memanggilku Mama, sayangnya aku pun tahu, jika mimpiku barusan juga salam pertemuan serta salam perpisahan.
Aku begitu mendambakannya selama ini, dan saat aku sudah memilikinya, aku harus kehilangannya. Apa lagi yang lebih menyakitkan? Ternyata aku seorang yang egois, terlalu larut dalam ambisi membalas Evan hingga mengabaikan peringatan Aria untuk pergi kerumah sakit.
Tangisku semakin keras, menangisi kebodohanku yang tidak menggubris saran Aria, seandainya aku pergi kerumah sakit, aku akan sadar, jika ada jiwa lain yang tumbuh di perutku, terlepas dari brengseknya suamiku, bayiku adalah sosok kecil yang tidak berdosa, dan sekarang aku musti kehilangannya, disaat aku baru tahu akan hadirnya.
Mungkin saja sekarang aku akan beristirahat dengan tenang, mengusap perut rataku, melupakan segala kebrengsekan Evan, dan menantikan menit demi menit menuju bulan kesembilan dimana hadirnya akan menjadi hadiah terindah di hidupku.
Sayangnya Allah kembali mengujiku, tidak hanya membuat Suamiku berpaling, tapi dia juga mengambil malaikatku lebih cepat, membuatku semakin buruk menjadi seorang wanita.
Aku wanita yang buruk.
Kujambak rambutku kuat, meremasnya keras, dan raungan tangisku bergema memenuhi ruang rawat ini, aku sungguh sudah tidak tahan merasakan sakitnya.
"YA ALLAH, KENAPA ENGKAU BEGITU TEGA? KENAPA BUKAN HANYA SUAMIKU YANG KAMU AMBIL, KENAPA ANAKKU JUGA? APA SALAHKU SAMPAI COBAAN BERUNTUN KAMU BERIKAN PADAKU."
Pelukan erat Mama merengkuhku, menghentikan histerisku yang sudah tidak bisa kukendalikan.
Kenapa dunia setidakadil ini, Tuhan?
Kenapa?
Begitu besarkah dosa yang pernah kulakukan dulu, hingga hukuman tidak hentinya kamu berikan?
Kenapa diantara banyaknya umatmu harus aku yang mendapatkan semua ketidakadilan ini?
Jika seperti ini, bagaimana bisa Kamu menyebutnya sebagai imbalan atas sikap baikku selama ini?
Bagaimana bisa aku bahagia, jika semua sumber bahagiaku telah Engkau renggut dengan mudahnya?
Kenapa?TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Anyelir (Ready Ebook)
RomanceAnyelir kira pernikahannya adalah pernikahan paling sempurna, dua tahun dalam mahligai pernikahan dengan seorang Pengacara, tidak seharipun dia tidak bahagia walaupun pernikahan mereka belum di karuniai seorang buah hati. Evan Wijaya, begitu nama su...