Alasan

7K 810 44
                                    

Langkah kakiku terasa ringan saat meninggalkan ruang penyelidikan Evan, meninggalkan mantan suamiku dengan selingkuhannya yang tengah histeris karena tahu, apa yang selama ini membuatnya serasa menjadi ratu di rumah tangga kami kini kuambil alih dalam sekejap.

Rasanya begitu puas melihat wajah terkejut perempuan tidak tahu diri itu disaat tahu, jika Evan membiarkan begitu saja yang aku lakukan terhadapnya.

Evan mungkin benar-benar menyesal, membiarkan apa yang kulakukan untuk menghukumnya, menunjukkan kesungguhannya dalam ungkapan penyesalannya, tapi apapun yang dia lakukan untuk menunjukkan penyesalan itu, aku tidak mau memaafkan dan kembali seperti yang dimintanya.

Selingkuh, mungkin aku dipandang berlebihan, hanya karena satu kesalahan, tapi aku tidak mau memaafkannya, bahkan aku membalasnya berkali-kali lipat, tapi sayangnya selingkuh adalah hal yang sejak awal tidak kumaafkan, penyakit diri yang melekat dan tidak pernah sembuh, mungkin sembuh untuk satu dua tahun usai penyesalan, tapi adrenalin nikmat akan membuatnya mengulanginya satu waktu nanti.

Dan aku bukan perempuan bodoh berhati batu yang akan mengulangi kesalahan untuk kedua kalinya.

Untuk itulah, sekalipun Evan menghiba dan meminta agar perceraian tidak aku layangkan, meminta satu kesempatan untuk memperbaiki rumah tangga kami, aku tidak memberikannya.

Aku memilih mundur, dan cukup dengan rasa sakit yang sekarang kudapatkan, aku sudah kehilangan kepercayaan, bahkan aku sudah kehilangan Putriku karena ulah brengseknya, dan aku tidak ingin kehilangan hal lain lagi.

Jika selama ini dia sembunyi-sembunyi, menutup rapat adanya hati yang lain, maka dengan perceraian ini aku memberikan kebebasan untuknya, mulai sekarang Evan tidak perlu bersembunyi hanya untuk menemui perempuan yang sudah mengandung anaknya itu.

Sekarang tinggal bagaimana Evan nanti menghadapi masalah yang sudah terjadi karena ulahnya sendiri, masalahku dengannya sudah terselesaikan, antara dia dan selingkuhannya, aku tidak ingin mengetahuinya apapun tentang mereka.

Bahkan hingga sekarang aku masih tidak menyangka, jika aku nyaris tidak mengetahui apa pun tentang mantan Suamiku, dimulai dari ternyata dia mengkonsumsi Kokain sebagai dopping karena tekanan pekerjaan, dan lingkungan pergaulannya yang membuatnya terjerat dalam hubungan zina dengan perempuan yang sekarang histeris karena aku merebut semua hal yang memang sejak awal menjadi milikku.

Langkahku terhenti, menikmati kelegaan yang dibarengi dengan rasa sakit yang masih terasa.

Sesakitnya apa yang kurasakan, kuharap seperti apa yang dikatakan Aria, rasa sakit yang akan membuatku semakin kuat kedepannya, lebih tangguh dalam menjalani hidup yang kedepannya akan lebih sulit.

Kisah antara aku dan Evan kini berakhir, hanya tinggal menunggu waktu untuk meresmikan perpisahan kami, pertemuan manis 2,5 tahun lalu kini hanya menjadi kenangan dan bagian masalalu untukku, sebuah pembelajaran hidup yang tidak kusangka akan kualami.

Perceraian, hal yang menjadi momok buruk untuk semua orang yang berada di ikatan pernikahan, tidak seorangpun ingin mengalaminya, begitupun denganku, siapa sangka, di usiaku yang menginjak usiaku yang sekarang aku akan menyandang status janda.

Ku pegang dadaku erat, degup jantungnya menggila mengingat mungkin ini salah satu sebab Allah mengambil kembali Putriku, mungkin Allah tidak ingin Putriku hadir ditengah keluarga yang penuh luka, atau bahkan di keluarga pincang yang terpisah.

Suara derap langkah berat mendekat, seorang yang selalu menjadikan dirinya tameng untuk melindungiku kini menghampiriku dengan wajah khawatir.

Rasanya sangat menyenangkan saat melihat seorang tampak begitu tulus padamu, segarang dan sekaku Aria, dia adalah gambaran buku terbuka, segala hal yang ada di dirinya adalah gambaran apa yang dirasakannya, seorang yang tidak munafik, seorang yang lebih memilih menyuarakan ke tidaksukannya langsung daripada hanya memendamnya.

Aku tersenyum, menunjukkan pada seorang yang sudah banyak menolongku ini bahwa aku baik-baik saja.

"Sekarang sudah lebih lega?"

Aku mengangguk, tidak hanya lega, perasaanku jauh lebih baik daripada hanya sekedar kata lega, sekarang ini sesuatu yang menyumbat dadaku terasa diangkat, membuat nafasku yang sebelumnya tercekat menjadi ringan.

"Jauh, hatiku jauh lebih baik sekarang ini, Aria."

Helaan nafas penuh kelegaan terdengar darinya, seolah dia turut merasakan apa yang tengah kurasa sekarang ini, sekalipun kamu belum lama mengenal, tapi entah kenapa ada keakraban tersendiri diantara kami yang membuat kami tahu apa yang dirasakan satu sama lain.

Tangan itu terangkat, mengusap rambutku perlahan, sentuhan yang mengingatkanku akan Papa, Aria, dia dengan mudah membuatku nyaman hanya dengan perhatian kecil.

"Senang mendengarnya, Anyelir."

"Semua ini berkat kamu juga, Aria."

"Sudah aku bilang bukan, aku akan menemanimu. Dan jangan tanya kenapa, aku tidak ingin kamu geli mendengar jawabannya."

Aku terkekeh melihat wajah memerah Aria yang sedang nemalingjan wajahnya ini, sungguh lucu seorang Kapten Infanteri sepertinya yang lekat dengan image garang justru tersipu malu, tanganku bergerak, meraih tangan itu, tangan yang berulangkali menggenggam dan menguatkanku di saat aku terpuruk di titik terendah, dan beralih mengajaknya keluar, meninggalkan gedung Polres dimana Evan sedang menjalani pemeriksaan atas kasusnya.

Entah bagaimana penilaian orang terhadapku, perempuan matre yang mengambil alih aset suaminya, serta menggugat cerai suaminya disaat suaminya tertimpa masalah, dan sekarang, aku justru menggenggam tangan laki-laki lain.

Aku tidak tahu dan aku tidak peduli, karena aku yakin seorang Aria dengan segala kesempurnaannya tidak akan mempunyai perasaan lebih pada calon janda sepertiku, hanya sekedar simpati dalam pertemanan, dan untuk sekarang aku masih butuh topangan untukku berpijak, dan berdiri dengan tegap.

"Mungkin jawabanmu itu kasihan pada calon janda sepertiku, iyakan Ya? Makanya kamu selalu berpesan, jangan tanya kenapa."

Alis Aria terangkat dan dahinya mengernyit penuh tanya, hal yang belakangan kutahu adalah kebiasaannya saat mendengar pertanyaan yang tidak masuk akal.

Tatapan yang membuatku tahu jika apa yang kukatakan sesuatu yang sangat jauh dari jawaban, membuatku hanya bisa meringis seketika.

Aria melepaskan tanganku yang memegang lengannya, dan beralih menggenggam tanganku, sebelum dia kembali berjalan seolah tidak pernah ada interupsi apapun.

Pede sekali Pak Tentara satu ini, beberapa orang Polisi yang bertugas dan menyapa dengan pandangan bertanya pada kamipun hanya dibalasnya dengan anggukan, membuatku yakin jika Aria benar-benar mempunyai sisi lain yang dingin dan kaku saat berhadapan dengan orang lain, hal yang berbeda dengan apa yang dia perlihatkan padaku.

Kali ini para wartawan yang tadi saat masuk mencecarku hanya memandang kami dan sesekali mengarahkan kameranya, sama sekali tidak berani bertanya lagi karena peringatan yang dilayangkan Aria sebelumnya, terlebih dengan wajah kaku Aria yang seperti ingin melibas siapapun yang berani mengusik kami, membuat siapapun yang melihatnya enggan untuk mencari masalah.

Dan tidak kusangka, setelah diamnya yang cukup lama, jawaban atas celetukan yang sempat terlontar dariku kini kudapatkan di saat kami kembali kedalam mobil.

"Jika alasanku menolongmu sejauh ini karena aku menaruh hati padamu, apa kamu akan percaya?"

"..........."

"Apa kamu akan memandangku sebagai seorang yang pamrih, karena membantu dan berharap imbalan hati?"

Anyelir (Ready Ebook)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang