"Mencari saya, Kak?"
Cantik, satu kata itu yang terlintas di benakku saat menatap wajah perempuan yang hampir saja dilumat oleh Karina.
Berkulit putih bersih seperti mutiara, lengkap dengan hidung mancung yang meruncing kecil, dan bibir merah dengan pulasan lipstick.
Bahkan untuk ukuran perempuan pun aku harus mengakui kecantikannya, kecantikan yang semakin terpancar dengan perutnya yang membuncit, tampak begitu manis dengan mididress floral yang dikenakannya.
Satu hal yang membuat kecantikan itu minus di mataku adalah wajah sombongnya, mengernyit tidak suka penuh penilaian saat menatapku, sedikit rasa risih kurasakan saat dia melihatku mulai dari high heels Jimmy Choo yang kugunakan hingga rambutku yang kuwarnai dengan coklat gelap.
"Gimana, Kak?" tanyaku lagi, sudah tidak tahan lagi dengan cara memandangnya yang antara campuran mengejek dan menilai tersebut, mendapati tatapan nakal dari customer laki-laki, maupun tatapan sinis dari sang pasangan laki-laki tersebut bukan hal asing, tapi baru kali ini aku merasakan ketidaknyamanan ini. "Ada yang bisa saya bantu? Kakak mau cari Mobil kami yang seperti apa? City Car, Sports Car, SUV?"
"Mobil apa yang Anda pakai?"
Aku dan Karina beradu pandang saat perkataanku dipotong olehnya, memastikan jika aku tidak salah dengar.
"Mobil saya?" ulangku memastikan.
Perempuan yang tidak kuketahui namanya tersebut bersedekap, tampak kesal akan tanggapanku, hal yang justru memantik senyumku, merasa maklum akan emosinya yang tidak stabil karena usia muda dan kehamilannya.
"Mbaknya budeg?"
Karina menggeram, emosi dengan mulut menyebalkan dari Customer ini jika aku tidak menahannya.
Dengan hati yang berusaha kusabarkan aku melangkah, menghela customer menyebalkan itu untuk melihat Mobil terbaru dari perusahaan tempatku bekerja.
"Mobil saya type City Car seperti ini, Kak. Minimalis untuk mengemudi mandiri di tengah Kota untuk perempuan pekerja seperti saya." kubuka Mobil keluaran terbaru kami, menunjukkannya pada perempuan menyebalkan tersebut. "Tapi berbeda dengan milik saya, yang saya tunjukan pada Anda ini adalah keluaran terbaru, type premium serta ekslusif."
Kubiarkan seorang yang tidak kukenal itu melihat-lihat interior di dalam mobilnya, memilih abai akan wajahnya yang justru tampak semakin menghina.
"Saya tidak mau mobil jenis ini, terlalu kecil dan murah, bahkan untuk type ekskusifnya, rendahan sekali seleramu. Apa pasanganmu tidak mau membelikanmu mobil yang lebih wah?"
Aku mengulum senyum, sebal, kesal, bercampur menjadi satu menghadapinya. Astaga perempuan satu ini, dia mempunyai masalah seberat apa di hidupnya? Atau sekaya apa dirinya ini sampai semua hal yang dilihatnya seolah sampah yang tidak layak untuknya.
"Mobil yang saya miliki hasil kerja saya sendiri jauh sebelum bersama suami saya, Kak. Bukan meminta dari Suami saya, bukan karena tidak mampu, tapi selama saya bisa membeli sendiri kenapa harus merengek pada orang lain."
Perempuan tersebut mencibir mendengar apa yang kukatakan. "Kamu mau menghina saya tukang minta-minta? SPG jualan mobil saja sombongnya minta ampun. Kamu kira saya nggak tahu kalo seorang SPG itu pasti punya sampingan biar bisa kebeli ini-itu, nggak usah belagu deh, Mbak."
Senyum yang sejak tadi tersungging di bibirku kini lenyap, bukan hanya aku, tapi juga seluruh juniorku, perkataannya kali ini melukai harga diri kami sebagai seorang marketing.
Wajah cantik benar-benar tidak menjamin attitude seseorang. Lihatlah, dengan santainya dia menghina kami sementara dia tidak sadar jika dia sedang menjadi perhatian karena mulutnya yang tidak tahu aturan.
Kembali, aku harus menahan Karina yang kini disertai Dewi untuk mencakar perempuan angkuh yang ada di depanku ini, SOP Perusahaan membuatku tidak bisa bersikap buruk pada siapapun Customer kami.
Kini tidak ada lagi senyum ramah di wajahku, perkataannya beberapa menit lalu sudah mengoyak harga diri kami sebagai seorang Marketing yang jujur. Diluar sana mungkin memang benar ada oknum yang tidak bertanggungjawab, tapi menyuarakannya seperti seorang yang paling benar tanpa dosa pun bukan hal yang benar.
"Jika begitu silahkan pilih yang paling mahal, Mbak. Jangan pilih type yang sama seperti seorang Buruh seperti pilihan kami, silahkan pilih dan selesaikan prosesnya."
"Oke! Saya akan pilih yang paling mahal yang ada disini!" dengan telunjuknya, perempuan tersebut mendorong bahuku pelan, sebelah tangannya yang mengusap perutnya membuncit seolah memamerkan kehamilannya padaku, "Anda tahu, Papanya Baby saya ini, memberikan saya hadiah ini atas kehadirannya, royal sekali bukan?"
Dengan kibasan rambutnya seolah model iklan shampoo, perempuan angkuh yang tidak kuketahui namanya itu melewatiku, beralih pada Gerry untuk menyelesaikan proses transaksi.
"Royal sekali Suami, Mbak." sebisa mungkin aku meladeni pembicaraannya, walaupun tidak bisa kupingkiri jika aku lebih tertarik untuk melemparnya menuju jurang dan menjadikannya sebagai makanan buaya. "Mungkin yang Suami Mbak lakukan ini bentuk syukur atas kehamilan Mbak."
Sementara itu aku hanya bisa menggelengkan kepala, takjub sendiri pada kelakuan absurd perempuan tersebut. Entah kenapa, aku merasa jika dia sepertinya mengenalku, kehadiran dan kalimatnya seolah mengejekku.
Sesuatu yang tidak kupahami karena seingatku aku bahkan tidak mengenalnya, hanya sekedar melihatnya kemarin, itupun karena aku melihatnya keluar dari mobil yang serupa dengan milik Evan.
Tatapan sinis kembali terlontar diwajahnya saat melihatku lagi, membuatku merasa jika aku di matanya adalah kotoran yang menyakiti matanya. "Tentu saja dia bersyukur atas kehamilan saya." kembali terlihat dia mengusap perutnya tersebut, satu hal yang menurutku terlalu berlebihan, "Kehamilan saya adalah hal yang sangat dia harapkan, sesuatu yang tidak dia dapatkan dari Istrinya yang mandul."
Mandul, kalimat itu mungkin saja ditujukan pada orang lain, tapi entah kenapa tatapan mata perempuan yang ada di depanku ini tertuju padaku, seolah menusukku, mengejekku yang juga tidak kunjung bisa memberikan buah hati pada suamiku.
Aku hanya bisa terdiam, rasanya sangat menyakitkan mendengar kalimat tanpa rasa bersalah orang ketiga yang dengan bangganya memamerkan kehamilannya diatas kesedihan sang Istri dari laki-laki tersebut.
Satu pertanyaan terlintas di kepalaku, tahukah istri dari laki-laki tersebut jika Suaminya kini tengah memanjakan perempuan lain atas hal yang tidak bisa dia berikan sebagai wanita?
Tidak bisa kubayangkan bagaimana hancurnya hati perempuan tersebut. Hatinya sudah pilu karena tidak kunjung di berikan kepercayaan oleh Allah, dan ternyata, suami yang dicintainya, bukannya mendukung untuk melewati ujian rumah tangga, tapi justru berkhianat.
Rasa takut menyelimutiku, satu hal yang sama persis seperti yang terjadi padaku, aku yang tidak kunjung hamil, dan Evan yang sudah terlampau mengharapkan kehadiran buah hati diantara kami.
Bagaimana jika apa yang terjadi di depanku sekarang ini juga menimpa rumah tanggaku.
"Suami orang?"
Gumamku pelan, berharap jika pemikiran buruk yang terlintas menghilang, tapi itu tidak terjadi, karena apa yang kudengar dari perempuan yang ada di depanku semakin memperburuk suasana hatiku.
"Iya Suami orang, seorang yang memberikan hadiah begitu royal ini adalah suami orang," tubuhku mematung, tidak habis pikir sendiri ada orang yang se percaya diri ini sampai membuka aibnya tanpa tahu malu.
Perempuan itu mendekat, berbicara pelan tapi masih bisa kudengar dengan jelas, "Atau jangan-jangan, Suami orang itu, suami mbak?"
TbC
Siapa yang darah tinggi sekarang habis baca.
Real life nya emang pelakor sekarang ngga malu buat nampang dan nunjukin eksistensinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anyelir (Ready Ebook)
RomanceAnyelir kira pernikahannya adalah pernikahan paling sempurna, dua tahun dalam mahligai pernikahan dengan seorang Pengacara, tidak seharipun dia tidak bahagia walaupun pernikahan mereka belum di karuniai seorang buah hati. Evan Wijaya, begitu nama su...