"Hooooeeekk."
"Hooooeeekk."
"Hooooeeekk."
Akhirnya rasa mual yang kurasakan beberapa hari ini membuatku tumbang, wangi lemon dari pengharum mobil Kapten Aria benar-benar menguras isi perutku.
Dengan terpaksa di saat mobil ini berhenti, aku langsung meloncat keluar dan mengeluarkan segala isi perutku, astaga, rasanya baru kali ini aku merasakan masuk angin yang menyiksa.
Keringat dingin mulai mengucur keluar, dan tenggorokanku yang kini terasa pahit membuat rasa sakit karena mual ini semakin menyiksa.
"Kamu mikirin yang belum tentu terjadi sampai sakit kayak gini, Anyelir."
Kini pijatan kurasakan di tengkukku dari Kapten Aria, tidak ada raut jijik di wajahnya melihatku yang teler seperti sekarang ini, justru kekhawatiran jelas terlihat.
Tidak hanya pijitan di tengkukku yang meringankan sakitku, tapi dengan telaten dia juga mengulurkan tisu padaku untuk membersihkan bibirku, karena aku yang terlalu lemas untuk bangkit.
Rasanya seluruh tubuhku serasa di lolosi sekarang ini. Melihatku yang hampir jatuh terhuyung, kembali aku harus merepotkan Kapten Aria, dengan sigap dia menopangku, menahanku agar tidak jatuh terjerembab karena pening yang belum berkurang.
"Ya Allah, Anyelir." dalam hidupku baru kali ini aku merasa begitu merepotkan, membutuhkan orang lain untuk tetap berdiri tegak dalam artian yang sebenarnya, terlebih lagi-lagi orang yang sama, yang selalu melihatku di saat titik terendah di hidupku. Entah apa rencana Allah, selalu mendatangkan Kapten Aria disaat aku benar-benar tidak sanggup sendirian.
"Perasaan waktu di Batalyon kamu oke, kenapa sekarang kayak gini sih." Dengan susah payah akhirnya kami bisa duduk di Lobby kantor ini, pandangan heran terlihat dari beberapa orang yang melintas melihatku yang teler seperti ini.
Kuraih gelas air mineral yang diulurkan oleh Kapten Aria, mencoba menghalau mual yang melilit perutku tanpa ampun.
"Mobilmu bau, Kap!"
Mendengar jawabanku, Kapten Aria langsung ternganga, benar-benar melongo seperti ikan yang keluar ke daratan, tidak mempercayai apa yang baru saja di dengarnya. "Kamu bilang mobilku bau?" dengan lucunya kini Kapten Aria justru membaui tubuhnya, mencoba membuktikan apa yang kukatakan. "Kalo mobilnya bau, aku juga ikutan bau, Anyelir. Sejoroknya aku, aku mana pernah bau badan."
Melihat tingkah menggemaskan seorang berpenampilan garang seperti Kapten Aria sekarang ini benar-benar mengundang tawaku, meredam perutku yang bergejolak, dan menggantikannya dengan kikik tawa yang tidak bisa kutahan.
Dan kini melihat tawaku yang muncul menggantikan ringisan kesakitanku memantik wajah heran Kapten Aria, wajahnya yang kaku semakin menyeramkan saat dia berkacak pinggang di depanku. Jika aku tidak mengenalnya mungkin sekarang aku akan lari terbirit-birit karena takut.
"Bukan kamu yang bau, Kap. Tapi mobilmu, wangi lemon bercampur bau AC bikin perutku mual tahu."
Kedua tangan Kapten Aria mengerat, seolah meremas dengan gemasnya, hal yang semakin mengundang tawaku, entahlah, aku merasa interaksi sederhana antara aku dan seorang yang baru kukenal ini justru begitu hangat, mengalihkan kepenatan dan kekecewaanku dari peliknya masalah rumah tanggaku sekarang ini.
"Mana ada Anyelir pewangi lemon sejuta umat bikin mual. Aneh deh kamu."
Akupun hanya bisa mengangkat bahuku lemah, tidak tahu harus menjawab bagaimana, karena memang itu yang memicu mualku semakin hebat.
"Kata siapa nggak bisa, Mas." aku dan Kapten Aria menoleh bersamaan, pada seorang Ibu-Ibu seusia Mama Anita yang duduk sembari membaca majalah di seberangkku, rasanya sangat memalukan, saat interaksi absurd kami berdua ternyata di perhatikan orang lain.
"Kalau perempuan hamil memang suka begitu Mas, kehamilan pertama ya, Mbak" dengan wajah cengo aku menanggapi Ibu tersebut kini mengusap perutku yang datar, sebelum Ibu itu beralih kepada Kapten Aria, "Kalian nggak tahu kalo lagi hamil?"
🐱🐱🐱🐱🐱🐱🐱🐱🐱🐱🐱🐱🐱🐱
Hamil?
Mendadak kalimat Ibu-ibu yang beberapa saat lalu kutemui di lobby Kantor terngiang di kepalaku, kehamilan dan tentang anak adalah hal sensitif untukku.Mungkin aku adalah satu diantara perempuan yang beruntung karena mertuaku, yang notabene adalah seorang yang paling mengharapkan kehadiran penerus keluarganya, adalah seorang yang modern dan, tidak menuntut pernikahanku bertujuan untuk memberikan keturunan, tapi pertanyaan dari orang sekitar, dan terkadang dari Evan sendiri akan belum hadirnya buah hati diantara kami membuatku stress sendiri.
Perempuan mana yang tidak ingin di panggil Ibu? Perempuan mana yang tidak mau menyempurnakan kodratnya sebagai wanita, tapi jika Allah belum memberikan kepercayaan, lalu aku bisa apa? Sebanyak apapun aku menangis dan mengeluh, itu tidak akan merubah keadaan.
Sepertinya itu adalah masa tersulitku, masa sulit yang kuanggap ringan karena kupikir suamiku adalah orang yang mengerti diriku, nyatanya, Evan sama seperti manusia lainnya, mungkin saja saking banyaknya kekuranganku, salah satunya adalah aku yang tidak kunjung memberikannya anak yang seperti dia harapkan, yang membuatnya mencari perempuan lain, bersenang-senang dengan mereka, dan memujanya dengan barang-barang mewah.
Setelah sedikit keburukan Evan terbongkar, tepat disaat aku hampir mengambil keputusan besar, ternyata satu kalimat singkat seorang yang tidak kukenal melambungkan harapanku akan hal yang sempat membuatku putus harapan.
Hamil?
Benarkah badanku yang tidak fit ini akibat dari kehamilan?
Aku tidak ingin terlalu berharap sebelum ku pastikan sendiri dengan akurat."Bagaimana jika kamu benar hamil?"
Pertanyaan dari Kapten Aria membuatku menoleh, mengalihkan pandanganku dari perutku yang datar pada wajah tampannya.
"Maka apa yang aku lakukan sudah benar, kan? Memastikan jika anakku tidak akan kekurangan apapun."
Kapten Aria masih akan menjawab, jika saja satu pesan tidak masuk kedalam ponselku. Sebuah pesan yang benar-benar membuatku merasa mengalihkan semua aset Evan pada nama dan kuasaku adalah hal yang tepat.
Suami lo baru saja Reservasi Restoran buat candle light dinner nanti malam, dan gue rasa ini bukan buat lo.
Kalo lo mau, gue bisa kirimin jam tepatnya nanti malam.Pesan dari Aura barusan bersamaan dengan pesan yang dikirimkan oleh Evan, jika Aura memberitahukan jika Evan baru saja membooking satu tempat di Restoran untuk makan malam, maka pesan yang dikirimkan Evan justru bertolak belakang.
Membuat prasangka yang sudah mulai terbuka kini semakin lebar.
Sayang, maafin aku ya, ada kasus besar yang musti aku tangani, mungkin aku nggak pulang malam ini.
I love you sayang, jangan nungguin aku buat tidur ya.I love you, kata indah dan begitu suci yang kini ternoda oleh ulah penuh dusta dari Suamiku, bagaimana bisa dia mengucapkan aku mencintaimu disaat dia sedang menyiapkan diri untuk kencan dengan orang lain.
Kalimat yang selama ini selalu bisa membuatku tenang dan tidak was-was menunggunya di rumah justru kini seperti ejekan, lebih memalukan dari pada lemparan kotoran sekalipun.
Mungkin ini sekarang waktunya untuk melihat sendiri bagaimana busuknya Suamiku.
"Anyelir, kamu nggak apa-apa? Kamu selalu bikin aku khawatir setiap kali dapat pesan." tepukan di bahuku membuatku serasa kembali pada kenyataan, dan aku baru menyadari jika aku tidak sendirian. Tatapan wajah khawatir Kapten Aria adalah hal pertama yang kulihat, membuatku tersenyum miris, seorang yang baru kukenal saja tahu jika hatiku tengah hancur, lalu kenapa seorang yang berjanji untuk bertanggung jawab atas diriku justru dengan begitu tega menyakiti dan membohongiku?
"Kapten Aria! Kamu mau makan malam denganku?"
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Anyelir (Ready Ebook)
RomanceAnyelir kira pernikahannya adalah pernikahan paling sempurna, dua tahun dalam mahligai pernikahan dengan seorang Pengacara, tidak seharipun dia tidak bahagia walaupun pernikahan mereka belum di karuniai seorang buah hati. Evan Wijaya, begitu nama su...