HANYA DIRIMU SENDIRI

6.1K 802 34
                                    

Pandangan mataku terasa kosong, foto 4D yang kupegang adalah satu-satunya hal yang ingin kulihat, potret janin kecil berukuran 9 cm, sudah sempurna, bahkan detak jantungnya pun sudah terdengar, seharusnya seperti mimpiku selama ini, jika semuanya berjalan dengan baik, 6bulan lagi akan ada bayi kecil berpipi merah jambu yang menyambut dunia.

Sayangnya semua itu kembali menjadi mimpiku saja, gadis kecil yang hadir di dalam mimpiku benar-benar berpamitan untuk pergi bahkan disaat aku belum menyadari akan hadirnya.

Mal nutrisi, shock, dan juga stress akut, penyebab aku harus kehilangan bayiku di usia 14 minggu kehamilan, kuretase adalah satu-satunya jalan, keputusan berat yang Mama Mertuaku harus ambil disaat beliau tahu, aku akan semakin terluka saat mengetahuinya.

Rasanya aku ingin marah pada beliau atas apa yang beliau lakukan, tapi melihat bagaimana beliau menangis, dan sama hancurnya denganku, rasa marah itu menghilang.

Aku terluka, tapi Mama mertuaku jauh lebih terluka, seorang single parents yang berusaha keras agar Putra satu-satunya menjadi seorang yang membanggakan, dan pewaris nama besar keluarga mereka justru mencoreng semua perjuangan Mamaku dengan pengkhianatan.

Pengkhianatan, hal yang melukai banyak hati. Mungkin beberapa orang menilai terlalu berlebihan jika hanya karena satu kesalahan seorang tidak termaafkan, tapi pengkhianat adalah seorang pembohong, penyakit hati yang akan kembali kambuh lagi.

Dan tidak cukup hanya dengan mempermalukan keluarga Wijaya karena perselingkuhannya, bahkan kini aku mendengar dari Aria jika Evan sedang ditahan di kantor polisi atas kepemilikan dan konsumsi kokain, barang haram yang berharga fantastis, barang haram yang membuatnya kehilangan kontrol atas dirinya dan berakhir dengan melukaiku.

"Apa yang sedang kamu lihat?"

Aku mendongak, mendapati sosok gagah dalam balutan seragam loreng di depanku, sosok hangat yang tersembunyi dibalik wajahnya yang kaku.

Kutunjukkan foto yang kupegang padanya, membuatnya yang sedang berdiri turut duduk, kilas takjub terlihat diwajahnya saat menatap foto tersebut.

"14 minggu, tapi dia sudah sesempurna ini. Astaga! Kamu lihat bahkan hidungnya sudah kelihatan, Anyelir."

Tanpa sadar aku tersenyum melihat wajah antusias dari Aria, begitu bersemangat memperhatikan tiap detil foto buah hatiku yang belum sempat ku sapa.

"Dia perempuan, Aria. Berwajah cantik, berhidung mungil, dan pipinya merah, bahkan dia mempunyai rambut panjang bergelombang seperti rambutku, tampak begitu manis saat dia menggerainya dengan pita di kedua sisi." Aria tidak menganggapku gila saat aku mendeskripsikan bagaimana wajah seorang yang bahkan belum lahir, bahkan tatapan mata hangat itu menyambut setiap kalimatku dengan sama antusiasnya.

Sayangnya kebahagiaan itu hanya sebentar, karena detik berikutnya, kenyataan jika aku telah kehilangannya kembali menamparku. Membuat kalimat yang baru saja terlontar membuatku terlihat semakin menyedihkan, aku memang perempuan yang tidak berguna, bukan hanya suamiku yang meninggalkanku, bahkan Allah pun enggan untuk memberikan kepercayaan padaku.

Kembali air mataku menetes tanpa bisa kucegah, bersama Aria, aku selalu tidak bisa menutupi apa perasaanku, entah sudah berapa kali aku menangis di hadapannya, kenyataan yang membuatku begitu miris.

Kasihan sekali Aria ini, Allah mempertemukannya denganku hanya untuk kurepotkan dengan segala masalah pribadiku.

"Apa aku menyedihkan, Ya?"

Tatapan Aria begitu lekat, seolah menyelam kedalam mataku hingga ke dasar perasaanku.

"Manusiawi Anyelir menangis untuk sesuatu yang menyakitkan, itu yang membedakan kita mempunyai hati atau tidak."

Anyelir (Ready Ebook)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang