Satu

1.9K 335 95
                                    

Bibir Annawi diam dan menjadi penurut akibat ulah jemarinya sendiri. Bergerak sedikit saja maka usahanya selama satu menit tiga puluh detik akan sia-sia belaka. Salahkan tangannya yang senang gemetar ketika kuas lipstik memolesi bibirnya. Bukan berarti ia gemetar lantaran tak terbiasa— ya mungkin memang ia tak terbiasa—hanya saja ia canggung pada dirinya sendiri, pada wajahnya sendiri. Menurutnya warna koral terang yang ia ambil dari pouch make-up ibunya adalah pilihan bagus untuk bibir remaja berusia enam belas tahun

Setelahnya ia tersenyum. Mengecap-ngecap bibirnya disusul senyuman. Itu sudah yang terbaik yang bisa ia lakukan demi menyulap wajahnya tampak pantas di depan cermin. Rambut kecokelatan sepunggungnya bergelombang dan ia menyibaknya, mematut kepalanya sendiri. Annawi berdiri lurus, menata gaun corak yang tampak seperti benalu kelonggaran di tubuhnya. Ia menyentuh tulang di bawah lehernya yang menonjol. Tak apa, itu tak mengganggu. Annawi hanya perlu menaikkan dagu, berlagak seperti Gongju di era Dinasti Joseon meskipun ia tak memiliki gaun yang layak untuk dijadikan wonsam.

"Putra Mahkota akan tiba satu jam lagi. Beri penampilan yang terbaik, Tuan Putri." Disusul cekikikan kecil di penghujung kalimat. Annawi menertawai dirinya sendiri.

Ia mundur beberapa langkah ke belakang sampai betisnya membentur tepi tempat tidur. Wajah tirus dan pucat sudah ditimbuni bedak tebal dan juga blush on, tak mengapa dan rasanya itu lebih baik. Tulang bahunya tampak sedikit menonjol, tingginya tak lebih dari 155 cm sementara bobot tubuhnya hanya 37 kg, tapi lihatlah rambut itu, Annawi tak ingin menganggap dirinya seperti orang bodoh yang tak tahu diri.

"Oke, ini akan jadi sesuatu yang mengejutkan. Ibu pasti senang melihat ini."

Jam bundar di dinding kamarnya sudah berada di angka delapan dan ia bergegas keluar menuju meja makan untuk sarapan. Annawi berupaya sebisa mungkin tidak menimbulkan suara bahkan derit kursi yang digeser ketika duduk. Tubuhnya terlalu ringan untuk menciptakan momentum langkah yang meninggalkan jejak suara. Di dapur, ia melihat tubuh ideal ibunya mondar-mandir di depan pantry.

Asti adalah wanita berusia empat puluh satu tahun yang hampir setengah umurnya dihabiskan hanya untuk membuat hidup Annawi sebagai putri satu-satunya itu berkualitas. Annawi tahu, ia bisa melihat tubuh itu memang seharusnya liat dan cekatan. Seolah-olah ibunya dikejar waktu setiap pagi agar tidak terlambat ke kantor. Akan tetapi, ibunya tak punya kantor dan Annawi menjadi satu-satunya makhluk yang membuat Asti selalu terlihat sibuk.

Annawi pernah mendengarnya, bahkan sering, cerita mengenai ibunya yang kehilangan hampir seluruh harapan dan juga segala yang dimimpikannya sejak Annawi divonis mengidap Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) di usia 5 tahun. Ibunya terpaksa meninggalkan profesi sebagai perawat dan entah bagaimana caranya profesi itu justru terdedikasi untuk merawat putrinya sendiri. Jadi, dengan cara apa ia memberi jaminan pada ibunya bahwa ia akan tetap hidup meski sampai pada usianya kini pun Annawi masih bisa melihat segalanya berjalan sesuai porsi.

Tak ada peran ayah di rumah ini. Annawi tak akan pernah tahu seperti apa rasanya memiliki ayah bila ibunya sendiri tak ingin mengungkit. Pria yang pergi meninggalkan istrinya dalam keadaan hamil dan tak meninggalkan harta benda sedikit pun, wajar bila ibunya melupakan ayahnya. Tak ada yang patut diingat dari pria kejam itu, bukan?

Cahaya mentari menerobos masuk melalui panel kaca sebelah pantry. Wajah ibunya diterpa begitu banyak kilauan cahaya dan gumaman nyanyiannya terdengar bagai rutinitas yang alamiah. Annawi melipat tangannya di atas meja lantas tersenyum tepat di saat ibunya berbalik dengan kedua tangan dipenuhi piring berisi makanan hangat.

Annawi bisa melihat rupa keterkejutan ibunya seakan piring di kedua tangannya hendak terjatuh ketika mereka saling bertatapan. "Ya Allah, Ann ... kamu ngejutin Ibu." Asti melegakan napasnya sambil menggeleng. Kembali berjalan lalu menaruh piring berisi makanan tepat di depan Annawi. "Apa-apaan ini?" tanyanya.

MENUBA [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang