Dulu, ketika Annawi baru dua hari menginjak usia enam tahun, hal yang mampu ia ingat adalah ketika ibunya membawanya ke rumah sakit entah untuk yang ke berapa kali. Ia di baringkan di atas bed pasien, seorang perawat berperawakan mungil membuat tusukan di dada kirinya untuk menanamkan kateter Hickman yang diarahkan ke dalam vena besar. Bentuknya seperti tabung kecil yang lentur yang digunakan sebagai pusat masuknya cairan obat-obatan, jalur infus, pemberian obat berjangka panjang seperti antibiotika, anti nyeri dan pemberian obat kemoterapi.
Kateter itu menggelayut di dadanya, seperti tentakel gurita yang mati rasa. Baginya, alat itu sudah seperti bagian dari tubuhnya sendiri meskipun keberadaannya kerap mengganggu. Segala macam obat-obatan pernah mengalir melalui jalur itu. Setiap kali ibunya membawanya ke rumah sakit karena keluhannya yang berbagai macam, alat itu seolah menjadi lubang tempat pengisian bahan bakar kendaraan dan perawat adalah petugas SPBU. Itu sudah menjadi bagian dari hidupnya, sudah menjadi hal lumrah.
Hingga ia sebesar sekarang, alat itu masih menempel di dada kirinya yang diganti dan dibersihkan setiap dua bulan sekali. Ia pernah membayangkan jika suatu hari ia menikah, akankah suaminya merasa terganggu dengan selang keteter menyebalkan itu? Annawi memandangi cermin di kamar ibunya. Berdiri di sana selama bermenit-menit yang panjang. Memperhatikan. Memperlihatkan keberadaan dirinya yang mendadak tidak serealitas biasanya.
Annawi baru saja mengambil berkas-berkas riwayat medis yang disimpan ibunya di dalam lemari. Satu map binder ukuran folio itu hampir penuh dan kertas di halaman paling belakang sudah sangat usang. Itu adalah catatan medis yang dikumpulkan ibunya sejak ia berusia empat tahun.
Setelah map itu sudah ada di tangannya, Annawi beralih ke kamarnya sendiri. Mengambil jaket hangat berwarna peach, mengenakannya, kemudian menutupi kepalanya dengan hoodie. Saat ia hendak keluar, Annawi memandangi Yani yang masih tertidur pulas di atas sofa. Sesuatu di dalam hatinya seakan berkata bahwa ini tidak benar, ini melanggar aturan. Akan tetapi, Annawi belum pernah melakukannya. Ada begitu banyak pertanyaan yang berkelindan di dalam kepalanya, himpunan dari berbagai sebab yang selama ini menjadi bias ketidakinginannya. Mengendap seperti mortir. Mungkin sudah terinjak tepat pada hari ini sehingga ledakannya membuat Annawi tak bisa membendung guncangan itu.
***
Sepertinya sudah lama sekali Asti tidak menghabiskan waktu untuk berbelanja. Mungkin tiga minggu. Jika bukan karena persediaan bahan dapurnya sudah menipis dan juga pakaian Annawi yang sudah lama tidak bertambah, Asti lebih senang menghabiskan waktu bersama Annawi. Menemani anak itu menonton tivi sampai bosan, bercanda dan membicarakan hal-hal baru yang belum pernah anak itu ketahui, atau menemani Annawi tidur siang sambil memeluk tubuh mungil putrinya. Keseharian yang sporadis. Apa yang telah diserahkan oleh ibu-ibu di sekitar tempat tinggalnya, ternyata sangat cukup membantu meng-cover begitu banyak kebutuhan hidup.
Seorang pegawai swalayan melipat celana jeans perempuan yang disusun ke dalam keranjang obral. Asti memperhatikan sebentar, celana jeans kebiruan itu mungkin akan cantik bila dikenakan oleh Annawi. Sebagian dirinya baru sadar kalau ternyata ia memiliki seorang putri yang sudah remaja. Celana jeans tampaknya akan menjadi pakaian model baru yang bakal disukai Annawi.
Asti mendekat, menyentuh jeans di dalam keranjang obral. Sang pegawai tersenyum sangat ramah kepadanya.
"Silakan, Bu ... untuk anak gadisnya ini mumpung lagi murah," ucap si pegawai berseragam merah tersebut.
Asti membentangkan jeans itu, panjangnya mungkin sudah sesuai dengan tungkai Annawi. Namun ia tak tahu berapa ukuran pinggang putrinya sendiri. 27, mungkin masih terlalu besar.
"Mau cari ukuran berapa, Bu? Biar saya bantu," wanita itu menawarkan.
"Aku ... bahkan tidak tahu ukuran pinggang anakku sendiri. Umurnya enam belas tahun."

KAMU SEDANG MEMBACA
MENUBA [Tamat]
Mystery / ThrillerAnnawi pernah bertanya pada ibunya mengapa ia dilahirkan dalam keadaan terdoktrin untuk mati perlahan-lahan. Namun ibunya tak memiliki jawaban spesifik mengenai itu. Leukemia yang dideritanya sejak berusia lima tahun jelas menjadi penghambat perkem...