Enam Belas

589 201 47
                                    

Mungkin Asti tidak bisa mengingat siapa nama pria tua yang bersama dr. Danu, tetapi ia ingat betul, pria itu adalah dokter yang pernah menyangkal soal hasil pemeriksaan Annawi saat anak itu diyakini olehnya menderita leukemia. Dokter kedua yang Asti datangi dan dimintai keterangan pasti soal hasil lab Annawi. Mulutnya serasa dibekap ketika mereka saling bertatapan.

Ia tidak bisa berkonsentrasi penuh saat sedang berbelanja. Banyak bahan dapur yang tidak masuk ke dalam troly dan ia baru menyadarinya saat sudah membayar di kasir. Pikirannya terlalu banyak berkelana, melihat pria itu bersama dengan dr. Danu dan tampak begitu dekat, Asti bagai dihantui oleh bayang-bayang masa lalu.

Annawi kecil duduk di sebelah Asti saat dr. Farid memasuki ruangan. "Bu Asti," sapanya sambil menarik kursi di seberang Asti. Dokter itu memegang lembaran kertas. "Saya lihat, hasil tes darah lengkap Annawi tidak menunjukkan masalah yang serius. Walaupun, jumlah limfositnya abnormal dan trombosit juga berkurang. Kami sudah memeriksanya dengan teliti dan tampaknya Annawi terkena mononukleosis. Sebabnya belum bisa diketahui tanpa pemeriksaan yang lebih lanjut, tapi biasanya karena virus. Itulah penyebab Annawi flu dan demam selama berhari-hari, lemas dan kehilangan nafsu makan."

"Mononukleosis?" Asti mengulangi penyebutan nama penyakit itu. "Jadi bukan demam berdarah, kan, Dok?"

"Saya rasa rumah sakit sebelumnya telah melakukan kesalahan diagnosis." Asti mengerutkan keningnya, memandangi Annawi yang duduk sambil memainkan ujung ritsleting jaket hangatnya. "Terjadi pembengkakan kelenjar getah bening di bagian leher Annawi dan itu juga yang mendukung diagnosis saya."

"Saya pikir, putri saya terkena semacam leukemia karena gejalanya persis."

"Kita tidak perlu berpikir sejauh itu, Bu Asti. Annawi akan baik-baik saja setelah mendapat pengobatan dan istirahat yang cukup. Penyakit mononukleosis memang tidak bisa sembuh cepat, tetapi tidak perlu terlalu dikhawatirkan sebab penyakit ini akan hilang dengan sendirinya. Prognosisnya baik."

Asti menggeleng, hatinya mengalami penyangkalan dan rasanya ia tak bisa terima begitu saja dengan apa yang dikatakan dr. Farid. "Mohon maaf sebelumnya, Dok. Tapi saya khawatir jika kali ini hasil diagnosisnya tidak tepat. Annawi sempat mengalami pendarahan di bawah jaringan kulitnya. Di punggung," katanya sambil mengelus punggung Annawi. "Juga-mimisan di hidungnya." Kalimat yang terakhir meluncur begitu saja dari lidah Asti. Kenyal seperti jelly. Ia tahu itu tidak benar.

"Tapi saya tidak melihat memar itu, Bu. Tidak di punggungnya atau di mana pun," sangkal dr. Farid.

"Dokter, saya Ibunya dan saya tidak mungkin mengada-ngada apa yang terjadi pada putri saya. Saya tidak tahu kenapa tanda-tanda itu tidak terlihat sekarang."

Dr. Farid menunduk sebentar, napasnya terhela sumir. "Bu Asti, saya dokter spesialis anak, dan saya tidak mungkin menyamarkan penyakit yang diderita oleh anak Ibu. Hasil diagnosis saya tidak mungkin salah. Kita bisa melakukan aspirasi sumsum tulang jika Bu Asti ingin lebih memastikannya."

Sebagian dari dalam diri Asti masih belum bisa percaya. Dokter sebelumnya telah melakukan kesalahan diagnosis, tidak menutup kemungkinan dokter di depannya menganalisis sampel darah dari tabung yang salah.

Tawaran dari dr. Farid agar Annawi menjalani aspirasi sumsum tulang ditolaknya dengan cara halus. Asti tidak bisa berpegangan dengan satu atau dua dokter. Di hari berikutnya, Asti mendatangi beberapa rumah sakit lagi dengan keluhan yang sama. Dua rumah sakit berikutnya mendiagnosis Annawi menderita mononukleosis. Namun dengan cara yang sama pula, ia menyangkal. Sesuatu yang entah apa, yang ia sendiri tidak dapat mengerti, tidak cukup membuatnya tenang. Bukan karena ia tak percaya dengan apa yang dikatakan dokter, tetapi karena ada hal di dalam dirinya yang tak bisa menerima kenyataan yang sesungguhnya.

MENUBA [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang