TIGA MINGGU KEMUDIAN
Gerimis merintik di antara terik matahari. Menyilaukan mata, menimbulkan lengkung pelangi di atas panorama langit. Ujungnya tak pernah diketahui dan Annawi selalu penasaran, di manakah kaki-kaki pelangi itu bertengger?
Ia berdiri di samping panel kaca transparan, di dalam kamar tempat ia dirawat dan memulihkan diri selama tiga minggu lamanya. Sejak itu, sejak peristiwa yang tak akan pernah bisa ia lupakan seumur hidup.
Lensa kaca mata yang ia kenakan membantu pandangannya meninjau jalanan yang berada lima lantai di bawah. Seseorang keluar dari dalam mobil, pria dan wanita. Dan Annawi tersenyum melihat gerakan santai mereka saat memasuki lobi rumah sakit.
Langit di depan matanya begitu menyenangkan mata, menyilaukan cahaya matahari yang berbaur dengan perca-perca gerimis. Ia masih belum percaya, bahwa kesempatan hidup masih ada padanya. Semua orang takjub begitu tahu soal kenyataan bahwa semenjak ia kecil, Annawi dijadikan bahan eksperimen ibunya untuk mengais simpati orang lain. Tubuh itu, nyatanya terlalu kuat hingga terjangan dari racun yang tertakar tak dapat menembus sistem kekebalan tubuh miliknya. Mereka mengatakan bahwa ini adalah mukjizat.
Malam itu, seseorang menemukannya dalam keadaan sekarat dan memeluk jasad ibunya. Dr. Danu bergerak dengan sangat cepat untuk meminta pertolongan. Di saat itu juga, Annawi memutuskan sebuah pilihan yang seumur hidup tak pernah menjadi bagian dari pilihannya. Tetap hidup untuk puluhan tahun ke depan.
Harus ada yang bersaksi untuk membeberkan kejahatan yang terkonspirasi. Bertahun-tahun, bersembunyi di balik rasa sakit yang berkelindan di dalam tubuhnya, mungkin juga di balik kesekaratan orang lain. Annawi tahu ibunya bersalah, tetapi tak sepenuhnya salah sebab ada pihak lain yang memanfaatkan kelemahan psikologi ibunya untuk mencari keuntungan. Si ketua yayasan diringkus tanpa mengulur waktu begitu Annawi buka mulut ketika dikelilingi polisi, utusan KPAI dan juga dua orang dokter baik hati yang menemaninya. Status Yanuar saat ini adalah tahanan yang sedang menunggu keputusan pengadilan.
"Saya menemukan ini." dr. Danu menyodorkan sebuah kertas bertuliskan tangan tak beraturan. Jelek dan tampak kacau. "Itu salinan dari kertas yang kami temukan saat menemukanmu. Aslinya ada di kejaksaan sebagai barang bukti." Annawi memandangi dr. Danu tak mengerti. "Itu, adalah pesan yang ditinggalkan ibumu."
Annawi membaca sebuah kalimat yang tertera di kertas tersebut, 'Mati, bukanlah cara praktis untuk mengubah hidup. Kumohon, berikan Annawi kehidupan layak yang belum pernah ia rasakan.'
Luka di punggungnya, adalah bukti nyata yang ditinggalkan sang ibu. Mungkin akan tetap membekas sampai seumur hidupnya. Namun membaca pesan itu, dada Annawi serasa diremas. Ia tak dapat menahan tangis, tak dapat menghentikan kelebatan wajah penuh senyum ibunya yang berkeliaran di dalam kepalanya. Kenapa harus ada monster di dalam jiwa ibunya? Kenapa ibunya tidak menyadari kelainan itu sejak dulu kemudian memberikan kehidupan yang layak pada Annawi melalui tangannya sendiri. Menaburkan kasih sayang dengan cara yang indah, merenyahkan tawa seperti anak-anak lain, dan mengubah suram dunia menjadi pijar cahaya.
Annawi membenamkan bibir. Pelangi masih tampak cerah. Ia bersandar pada kusen panel, satu tangannya meraba dada sebelah kiri. Tidak ada lagi kateter Hickman yang menggelayut bagai tentakel gurita di sana. Dokter Farid sudah memastikan kalau Annawi negatif terhadap leukemia dan ia tak butuh benda itu tertanam di bawah kulit.
"Sudah siap untuk memulai kehidupan baru?"
Suara seseorang yang muncul saat masuk menghampirinya membuat Annawi menoleh. Ia tersenyum. Dr. Danu datang bersama Dila dan Annawi menerjang gadis itu untuk memeluk.
"Ann kelihatan lebih segar sekarang. Mbak senang."
"Berkat kalian. Terima kasih, Mbak, Dokter Danu," balasnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
MENUBA [Tamat]
Mystery / ThrillerAnnawi pernah bertanya pada ibunya mengapa ia dilahirkan dalam keadaan terdoktrin untuk mati perlahan-lahan. Namun ibunya tak memiliki jawaban spesifik mengenai itu. Leukemia yang dideritanya sejak berusia lima tahun jelas menjadi penghambat perkem...