Delapan

732 211 37
                                    

Pernahkah kau bertanya-tanya, seperti apa rasanya mati? Pikirkan jika kau sedang dalam keadaan tidak sakit, kemudian sesuatu terjadi dan mendadak rohmu memutuskan untuk memisahkan diri dengan tubuh. Tidak ada persiapan yang matang demi bisa membuat kematian terlihat baik. Annawi sering memikirkan itu. Paling tidak, ia sedikit beruntung sebab tanda-tanda kematian itu kerap menyanding. Menurutnya. Seolah-olah, Tuhan memberinya poster bergambar maut atau kalimat kematian di dalam kamarnya. Yang sewaktu-waktu bisa saja bergerak dan merangkulnya saat tidur.

Dalam kamar rumah sakit, Annawi tidak menemukan poster itu. Mungkin belum. Jikapun ada, barangkali dalam bentuk yang lebih menipu seperti suster atau dokter. Ia kerap merasakan sakit yang berbeda-beda, tapi tak satu orang pun kecuali ibunya yang bersedia memberi penjelasan padanya, seperti apa rasanya mati akibat Leukimia? Penyakit ini sudah bertengger di dalam darahnya sejak kecil, ibunya melakukan berbagai upaya agar ia tidak merasakan sakit dan cara itu berhasil. Kecuali saat pasca kemoterapi yang menyebalkan.

Mereka menghabiskan malam yang singkat dengan saling berpelukan di atas bed. Annawi meringkuk seperti bayi di dalam rahim. Diam. Merenungi jutaan kenangan yang hanya dipenuhi dengan rasa sakit. Lalu mendadak, kematian seolah menjadi sesuatu yang sangat dirindukan.

Saat ia terbangun, Annawi memperhatikan setiap gerak-gerik ibunya. Berupaya untuk menjadikan setiap momen kebersamaan mereka menyenangkan. Wanita itu merupakan satu-satunya orang yang sangat ia cintai, meski pada hakikatnya mereka saling mencintai. Tak ada yang mampu merenggangkan hubungan ibu dan anak. Annawi menitikkan sebutir air mata ketika ibunya membereskan keperluannya. Bersiap untuk pulang. Menyimpan uang sisa pembayaran administrasi di dalam tas tangannya. Annawi tak tahu berapa lembar lagi uang yang tersisa di dalam dompet atau angka di rekening bank ibunya, tetapi ia bisa memahami, ibunya sudah berbuat yang terbaik untuk sisa hidupnya.

Annawi duduk di tepi bed ketika ibunya menghela napas dan membenahi rambut yang terikat. Kakinya menggantung. Ia tersenyum pada ibunya, dan sebaliknya. Ia mendapat pelukan lagi, rasanya begitu hangat.

"Ann mengkhawatirkan sesuatu?" tanya ibunya.

"Ya," jawabnya singkat.

"Apa? Apa yang Ann khawatirkan?"

"Ibu." Mereka saling berpandangan. Kedua mata ibunya seolah mengedar ke seluruh wajah dan tubuhnya.

"Ibu baik-baik saja, Sayang."

"Ann berpikir, siapa yang akan menemani Ibu jika nanti Ann meninggal?"

Rasanya, pasti seperti tertampar. Annawi bisa melihat wajah ibunya mendadak berubah. Bibirnya melengkung ke bawah tetapi tertahan sebab tak ingin menunjukkan kesedihan padanya. Annawi bisa memahami itu. Kemudian ia memeluk ibunya, seolah ia tak punya banyak kesempatan lagi untuk mendekapnya.

***

Siang itu, Annawi melihat jalanan begitu panas dan menyilaukan. Ia duduk manis di sebelah ibunya yang sedang menyetir. Sesekali memperhatikannya. Kaos lengan panjang bergaris yang Annawi pakai terlihat semakin kelonggaran, jemarinya memainkan ujung kaos selagi lamunannya menerawang ke deretan pohon yang tertinggal di belakangnya.

Ia mendengar ponsel ibunya yang terletak di dekat porsneling berdering. Annawi melihat, Bukde Yani memanggil. Ia melirik ibunya dan bertanya, "Boleh Ann yang jawab?"

Sebelum ibunya menyetujui, ponsel itu sudah diambil oleh ibunya kemudian menyapa teleponnya. Annawi memperhatikan sambil mendengarkan.

"Ya, Mbak? Annawi-" Asti melirik Annawi sebentar kemudian kembali menelepon sambil menyetir. "Dia, cukup mengkhawatirkan. Aku harus mengeluarkan tenaga ekstra kali ini dan sedikit bingung." Annawi masih mendengarkan, tubuhnya bergoyang saat mereka memasuki jalanan yang tak rata. "Maaf, Mbak, tapi Ann belum bisa dijenguk sekarang. Dokter memintanya untuk istirahat total." Kali ini, kening Annawi berkerut. "Aku benar-benar minta maaf, Mbak. Aku akan berusaha melakukan yang terbaik. Ann pasti sembuh dan pulang beberapa hari lagi. Aku akan beritahu kabar Ann, sekarang aku sedang sibuk." Jeda sebentar, seolah Asti sedang mendengarkan banyak informasi dari Yani. "Terima kasih infonya, Mbak. Mudah-mudahan gangguannya tidak berlangsung lama karena jelas aku bakal sangat kesulitan di situasi seperti itu." Lalu percakapan mereka pun usai.

MENUBA [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang