Empat

911 246 32
                                    

Sudah dua hari sejak Annawi kemoterapi, Asti selalu mengecek keadaan putrinya itu di dalam kamar. Anak itu tidur dengan tubuh miring, kepalanya terbungkus turban dan NGT masuk melalui lubang hidung sebelah kanannya untuk menyalurkan makanan. Annawi kehilangan nafsu makan dan anak itu jelas tak boleh kehilangan nutrisi setelah melalui prosedur yang melelahkan.

Asti mencium kening Annawi yang tertidur, tersenyum lembut, menaikkan selimutnya sampai batas dada. Wajah Annawi tampak seperti bulan pucat yang sering mereka tonton di film horor. Ini memang terlihat menyakitkan, tapi Asti tahu, ini lebih baik baginya ketimbang melihat Annawi menyadari bahwa kenyataan itu menyakitkan. Ia pun memastikan segalanya baik lalu meninggalkan Annawi.

Saat Ann berusia lebih lima tahun, Asti pernah merasakan warna wajah Annawi berangsur berubah sejak anak itu menjalani kemoterapi. Anak itu terbangun saat pagi hari dan segenggam rambut tertinggal di bantalnya. Asti mengambil cepat-cepat rambut itu dan menyembunyikannya agar Annawi tak melihat. Akan tetapi, hal seperti itu tak mungkin bisa disembunyikan. Beberapa hari berikutnya Annawi memandangi cermin di kamar mandi dan melihat rambutnya menipis, botak di beberapa bagian kemudian menangis.

Asti tak memiliki cara lain kecuali menenangkannya dengan kata-kata baik penuh janji. Hanya saja Annawi masih terlalu kecil dan janji yang tak pernah ditepati itu menjadi pertanyaan yang berulang-ulang. Asti berjanji padanya bahwa kelak Tuhan akan mengganti rambutnya dengan yang lebih indah dan sehat, tetapi dengan hati yang remuk, Asti malah mencukur habis rambut putrinya. Tersenyum dan memeluk putrinya, mengabulkan segala permintaan sesuai kemampuannya adalah jalan satu-satunya.

**

"Apa Annawi sudah lebih baik?" tanya seseorang di balik telepon sana.

Asti memenuhi meja kerjanya dengan map-map berisikan data medis Annawi dengan earphone yang menggantung di telinga kirinya.

Pria itu Yanuar, pemilik Yayasan Kanker Sukmawati.

"Annawi baru menjalani kemoterapi dua hari yang lalu. Tubuhnya masih sangat lemah."

"Ya, saya mengerti. Annawi anak yang kuat, mungkin ia akan baik-baik saja keesokannya."

"Saya harap juga begitu." Asti menggigit bibirnya, melongok ke pintu kamar Annawi sebentar lalu kembali bicara pada Yanuar. "Aku butuh dana untuk membeli methotrexate dan beberapa obat-obatan. Hanya tersisa obat jenis pil dan aku khawatir dosisnya tidak sesuai."

"Kenapa tidak dikonsultasikan dengan dokter saja?"

"Justru itu, dokter mengkhawatirkan hal yang sama."

Yanuar diam sebentar, rasa penasaran Asti tak terbendung. Menunggu kata-kata pamungkas itu muncul ke telinganya.

"Mas, kondisi Annawi semakin memburuk. Tubuhnya semakin kurus dan kurasa ia mengalami depresi belakangan ini. Saya takut Annawi--

Tangis isak itu keluar juga pada akhirnya. Asti menarik napasnya dalam, menyedot ingusnya dan berusaha tenang.

"Mbak Asti harus kuat. Kalau Mbak Asti lemah siapa nanti yang akan menguatkan Ann? Saya tahu merawat anak seperti Ann tidaklah mudah. Tapi Mbak sudah melakukan yang terbaik selama ini sampai Ann sanggup bertahan." Yanuar menghela napas kecil. "Terus terang Yayasan sedang mengalami defisit dana. Saya sedang berusaha mencari donatur baru, tapi barusan saya dapat angin segar. Dari corporate, mudah-mudahan mereka bersedia menjadi donatur tetap. Ann akan baik-baik saja, Mbak. Anak-anak lain juga sedang membutuhkan uluran tangan kita."

Kedua mata Asti terpejam, ada sedikit harapan dan ia berhak untuk menyunggingkan secuil senyum. "Terima kasih, Mas. Saya tidak tahu lagi harus berterima kasih dengan cara apa atas bantuan Mas Yanuar selama ini."

MENUBA [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang