Kamar putrinya selalu tampak ramai berkat jajaran boneka emoji yang sejatinya tidak disukai Asti. Seakan-akan mereka menyergapnya dengan serbuan makhluk konyol tak berbadan. Asti selalu mengabaikan. Kamar itu sangat luas dan dengan cara melihat jendela atau tempat tidur, biasanya Asti akan merasa lebih baik.
Suara mesin jahit elektrik yang dioperasikan Annawi terdengar menyeluruhi kamar. Annawi meliuk-liukan jemarinya di atas kain flanel berwarna kuning. Menciptakan pola sederhana. Lingkaran. Kepalanya menunduk, senyumnya menyungging sesekali. Terlihat sangat jelas bahkan ketika Asti melihatnya dari ambang pintu. Ia hanya memastikan, anak itu masih menempelkan bokongnya di atas kursi roda. Menggulirkan roda stiap kali ia perlu mengambil peralatannya yang lain di atas meja perkakas. Asti tahu itu sangat merepotkan, tapi itu demi kebaikan Annawi. Kebaikan putrinya. Dan Asti tahu Annawi tak akan pernah melanggar janjinya.
Asti menghampiri Annawi. Mengelus punggungnya lantas tersenyum pada anak itu. "Ann sudah menghabiskan waktu tiga jam." Annawi mendongak sesaat, lalu kembali memainkan mesin elektriknya. "Berhenti dulu, ini sudah waktunya minum obat."
Hari sudah beranjak sore ketika Asti harus mengingatkan perihal kebutuhan anak itu. Tak ada tanggapan apa pun dari Annawi, tetapi gerakan mematikan mesin, merapikan meja dan menaruh segala peralatannya ke dalam kotak bahan berukuran 70 x 50 cm bertanda bahwa anak itu benar-benar menurut. Meski membisu.
Ia menyodorkan dua butir pil. Kombinasi dari Roxicet dan Naproxen untuk meredakan nyeri di punggung. Annawi menelan obat itu seperti ia menelan air liur. Tampak lihai dan sangat terbiasa. Setelah itu, Asti membantunya berbaring, memiringkan tubuh Annawi lalu menyingkap bagian bawah kaosnya.
"Lihatlah, punggungmu masih bengkak. Apa itu sakit?"
"Tak apa, Bu. Sakit punggung hanya perkara kecil dibandingkan sakit lain yang pernah Ann rasakan."
Asti menutup kembali punggung putrinya, menaikkan selimut. Kemudian Asti ikut berbaring di belakang Annawi, memeluk sebagaimana mereka sering berpelukan. Ini terasa sangat indah. Hubungan ini, Asti selalu merasa tenang setiap kali Annawi menjadi anak penurut. Itu akan membuat usahanya sebagai prajurit sejati lebih mudah.
Ia meninggalkan Annawi sendiri setelah memastikan bahwa pengaruh obat membuat anak itu terlelap. Seseorang, yang tidak lain adalah Yani, mengetuk pintu untuk bertamu. Asti menyuruh wanita bertubuh gempal dan berdaster batik itu masuk.
"Ann sedang apa?" tanyanya semberi melangkah masuk ke dalam rumah.
"Baru saja tidur," jawab Asti.
"Sayang sekali, padahal buburnya masih hangat. Ini bubur pulut kacang hijau kesukaan Ann." Yani yang semula memegang satu wadah Tupperware dengan lesu meletakkannya ke atas meja makan. "Kalau sudah lebih satu jam, Ann tidak akan bisa memakannya."
"Mbak kurang beruntung." Asti menanggapi. Yani menarik kursi lalu duduk, memainkan gawai androidnya di atas meja sementara Asti mengambil gelas juga poci gerabah untuk diseduh dengan teh. "Mbak mau teh?" tawarnya.
Yani menoleh sebentar lalu menjawab, "Kalau tidak merepotkan."
"Tentu tidak, Mbak," sahut Asti sambil tersenyum. Tangannya pun sibuk meracik teh.
"Kondisi Ann sudah agak mendingan, 'kan? Mbak kepikiran terus apalagi setelah baca berita tadi pagi."
Ia menaruh satu poci teh hangat kemerahan dan dua cangkir di atas meja, menyajikannya pada Yani. Disusul dengan wajah penuh penasaran. "Berita apa, Mbak?"
"Itu, loh, As. Berita tentang orang tua yang meracuni anak laki-lakinya yang sudah tujuh tahun sakit-sakitan terus. Ini, nih beritanya." Yani membuka browser di layar petak canggihnya dan menunjukkan sebuah artikel di situs berita daring. Asti membaca judul yang bertuliskan 'Habis meracuni anak kandung, sang ibu menyerahkan diri ke polisi'.

KAMU SEDANG MEMBACA
MENUBA [Tamat]
Misterio / SuspensoAnnawi pernah bertanya pada ibunya mengapa ia dilahirkan dalam keadaan terdoktrin untuk mati perlahan-lahan. Namun ibunya tak memiliki jawaban spesifik mengenai itu. Leukemia yang dideritanya sejak berusia lima tahun jelas menjadi penghambat perkem...