Annawi terbangun tepat di saat matahari sudah tenggelam. Situasi di dalam kamarnya gelap, ia tak perlu bertanya-tanya mengapa ibunya tidak menyalakan lampu. Penglihatan yang buram semakin suram akibat terjangan malam.
Jarum suntik yang ditusukkan ibunya secara mendadak di lengannya itulah penyebab ia tidak terbangun selama berjam-jam. Ia mencari-cari sesuatu yang salah dari bagian tubuhnya. Annawi menyingkap kaos, perut dan dadanya baik-baik saja dan tak ada slang infus atau semcamnya yang tersambung di kateter. Paling tidak ia bisa cukup lega sekarang. Meskipun rasa pusing di kepalanya masih belum membaik, Annawi bahkan hampir tak bisa membedakan apakah perutnya perih karena lapar atau luka di lambungnya yang membuat ia meringis sakit.
Sejak pagi, bahkan sejak malam dia kabur dari rumah sakit, Annawi tidak memakan apa pun. Di samping bantalnya, Annawi melihat boneka emoji bertengger manis. Tangannya begitu cepat meraih lalu membuka ritsleting di baliknya. Satu bungkus Pocky pemberian dr. Danu masih utuh. Annawi cepat-cepat membukanya lalu mengeluarkan satu batang biscuit berbentuk mini tongkat yang dibalut dengan krim strawberi. Rasanya seperti orang kelaparan, Annawi melahapnya, menyadari rasa manis meledak di dalam mulut.
Ini menakjubkan, ujarnya. Seumur-umur, Annawi belum pernah mengunyah makanan seperti ini. Manis, renyah dan melekat di mulut. Ia mencobanya lagi, lagi dan lagi. Namun, ia seharusnya tidak terlena dengan kelezatan seperti ini. Dengan rakus, Annawi memakan setengah porsi Pocky sampai mulutnya penuh dan bibirnya belepotan. Kakinya turun dari tempat tidur dan di situ, Annawi menemukan keanehan.
Lantai di bawah kakinya terasa berbulu. Bertumpuk-tumpuk dan menggumpal. Matanya melihat ke bawah, sesuatu tampak berantakan di pandangan. Untuk memastikan, akhirnya ia berjongkok dan meraba lantai. Tangannya menyentuh kain-kain flannel yang berserak dan tercabik-cabik. Bercampur kapas, bercampur serabut-serabut benang. Dada Annawi serasa diguncang. Ia membawa lebih dekat ke depan matanya.
Itu, adalah emoji-emoji kesayangan yang sudah ia buat susah payah selama berhari-hari. Kini rusak dan tak terselamatkan. Memenuhi lantai, menyebar ke berbagai sudut kamar. Hatinya serasa diremas ketika menyadari bahwa ini sudah pasti ulah ibunya. Annawi menangis, sedu sedan menjalar penuh ke kepala. Janjinya terhadap dr. Danu tak lagi bisa terpenuhi. Ia kehilangan kekuatan beberapa saat, beberapa menit. Sampai ia terdiam. Memikirkan hal yang sejatinya tak pernah ia pikirkan selama ini. Bagaiamana jika ibunya mati saja? Mungkin itu lebih baik jika dia yang harus menanggung rasa sakit seumur hidup.
***
Mungkin ini cara konyol. Sudah tiga kali Annawi berusaha lari dari ibunya. Kabur. Akan tetapi, ibunya selalu berhasil menemukan dan pada akhirnya Annawi kembali lagi ke dalam kendali ibunya. Rasanya percuma, tapi tidak mustahil bila ia melakukannya lagi. Ada jiwa monster di dalam diri ibunya yang tak mungkin bisa diselamatkan. Annawi tak tahu jika barangkali ini adalah upaya sia-sia. Namun bagaimanapun, untuk menyelamatkan sendiri, kau tidak boleh mengabaikan risiko.
Kakinya melangkah tertatih dan tubuhnya terbungkuk. Annawi keluar dari kamar dan tidak menemukan ibunya di sana, di dapur, di ruang tamu bahkan di kamar. Ini kesempatan bagus. Tangannya meraba dinding untuk dijadikan tumpuan. Melewati furnitur nakas yang dijajarin oleh frame-frame foto ia dan ibunya. Tanpa sengaja, gawai ibunya yang tergelatak di sana berdering. Annawi terkejut, tapi benda itu terus bersuara. Kencang sekali.
Annawi kalang kabut, khawatir kalau-kalau ibunya mendengar dan memergokinya. Mau tak mau, Annawi menggeser tombol itu untuk mematikan, tetapi ia malah menggeser tombol jawab. Suara seorang pria pun muncul dari sana.
"Halo? Mbak?"
Annawi mengerutkan kening begitu mendengar suara familiar tersebut. Sebab penasaran, ia pun menempelkan gawai itu ke telinganya. Mendengarkan tanpa perlu bersuara.

KAMU SEDANG MEMBACA
MENUBA [Tamat]
Mystery / ThrillerAnnawi pernah bertanya pada ibunya mengapa ia dilahirkan dalam keadaan terdoktrin untuk mati perlahan-lahan. Namun ibunya tak memiliki jawaban spesifik mengenai itu. Leukemia yang dideritanya sejak berusia lima tahun jelas menjadi penghambat perkem...