Saat malam, rumah sakit tidak pernah benar-benar gelap. Dalam skala waktu yang sudah Annawi perhitungkan, ia tak punya alasan lagi untuk tetap berada di bawah kendali ibunya ketika ada kesempatan. Ia hanya pura-pura tertidur ketika ibunya pergi untuk menebus obat di apotek. Dengan mengumpulkan tekad di dalam dirinya, Annawi turun dari bed. Mencabuti slang yang semula terhubung dengan kateter Hickman di dadanya. Pelan-pelan, Annawi menarik slang NGT di hidungnya. Matanya mengeluarkan air mata, rasanya semua isi di dalam lambungnya hendak keluar, lidahnya terjulur saat slang itu ditarik melewati lubang hidungnya dan ia membeliak menahan sakit di sekujur leher. Ia terbatuk, membasahi tenggorokannya dengan air minum lantas menyesuaikan tubuhnya sendiri.
Terlalu berani untuk keluar tanpa persiapan. Berbekal penglihatan seadanya, ia hanya mengambil jaket berhoodie di dalam tas perlengkapan yang ibunya bawakan kemudian memakainya. Memastikan topi kupluk katunnya membantu menyembunyikan kepalanya yang botak. Gelang identitas pasien disobek paksa lantas perjuangannya selanjutnya adalah menahan perih pada perutnya. Annawi tahu itu adalah konsekuensi. Ia meringis setengah mati menahan sakit. Kakinya tidak begitu kuat menahan bobot tubuhnya sendiri. Namun ia berusaha untuk kuat, meski harus meraba dinding.
Di luar kamar, Annawi hanya berusaha mengikuti insting. Rasanya memang terlalu konyol, tetapi ia tak punya cara lain untuk bisa bebas dari kekangan ibunya. Atau risiko terbesar yang harus ia hadapi justru kematian yang tak masuk akal. Bahkan, selama ia berbaring pun, Asti tidak memperkenankan perawat apalagi dokter untuk bicara dengannya. Semua akses dikendalikan oleh ibunya tetapi ia masih bisa mendengar apa yang dikatakan dokter soal penyakit barunya. Lambungnya mengalami pendarahan akibat efek obat yang terlalu keras.
Pada akhirnya, membisu, dan menahan air mata, merupakan cara teraman untuk tidak memperburuk keadaan.
Setiap kali ia berpapasan dengan orang lain, Annawi berusaha sekuat tenaga untuk berjalan seperti orang normal. Jaket dan hoodie sangat membantunya menutupi kecurigaan orang lain. Celana katun berwarna biru yang ia pakai sedikit mirip dengan warna seragam perawat. Pertanyaan selanjutnya ialah, ke mana Annawi akan pergi?
Ia sama sekali tak tahu ke mana arah jalan raya. Mengikuti lima orang muda-mudi yang tampaknya baru pulang menjenguk pasien ternyata bisa dijadikan cara jitu. Annawi mengikuti langkah mereka di belakang, menyamarkan diri agar orang-orang menyangka kalau ia adalah bagian dari gerombolan tersebut.
Meski rencananya tidak berjalan terlalu mulus. Beberapa staf rumah sakit sempat memperhatikan gelagat anehnya. Annawi berjalan sedikit terbungkuk karena lambungnya yang sakit membuatnya sulit berjalan tegak. Namun ia tidak dapat melihat seperti apa wajah orang-orang yang mencurigainya. Yang penting jalan saja, yang penting ia bisa menjauh dari ibunya. Soal keberuntungan atau kesialan di depan, Annawi bahkan tak mampu membandingkannya.
Ia sudah berhasil turun dari lantai tiga ke lantai dasar menggunakan lift. Sekarang Annawi sudah berada di lobi rumah sakit. Kelima orang muda mudi itu berpencar, Annawi bingung. Sialnya, perutnya terasa perih dan ia meringis hebat. Hal itu mengundang perhatian dari sejumlah orang termasuk security yang berjaga di pos. Annawi tak boleh berdiam diri, ia bergegas mencari orang lain untuk dijadikan bahan samaran. Jika saja penglihatannya tidak terganggu, Annawi pasti sudah mencari jalan lebih aman daripada harus mengikuti orang lain.
Akhirnya, ia berhasil keluar dari area rumah sakit dan berada di parkiran sekarang. Annawi berhenti sebentar, bersandar pada bodi belakang mobil untuk mengembalikan tenaga. Matanya terpejam menahan pusing di kepalanya. Annawi mengembuskan napas lalu berjalan kembali.
Sialnya, semakin ia berjalan, perutnya semakin terasa sakit. Annawi berjalan sedikit limbung, menubruk orang lain yang berdiri atau berjalan di pinggir jalan. Air matanya keluar, Annawi belum pernah sekalipun melakukan hal nekad seperti ini. Menginjakkan kaki dan berjalan di sekeitar jalanan rumahnya saja ia tidak pernah, konon lagi di jalan raya besar seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENUBA [Tamat]
Misterio / SuspensoAnnawi pernah bertanya pada ibunya mengapa ia dilahirkan dalam keadaan terdoktrin untuk mati perlahan-lahan. Namun ibunya tak memiliki jawaban spesifik mengenai itu. Leukemia yang dideritanya sejak berusia lima tahun jelas menjadi penghambat perkem...