Asti ingin memberitahu Dila bahwa melihat isi lemari orang lain dan mencari tahu adalah sebuah kesalahan besar. Namun, ia tak bisa mengatakannya sebab rupa dengan kening berkerut dan penuh tanya itu tampak menuding. Memperumit.
"Ah, itu kantung darah persediaan jika Ann mengalami anemia," jawabnya.
Pintu kulkas belum tertutup sepenuhnya saat Dila mematung di sana. Asti melangkah maju, menyingkirkan tangan Dila, memeriksa wadah lalu menutupnya dengan benar. Dila sedikit bergeser saat Asti melakukan itu. Gelas berisi air dingin masih berada di tangannya.
Wadah yang berbentuk persegi dan seukuran kotak P3K tipe dinding tersebut terisi hampir penuh dengan tumpukan kantong darah 250 cc. Dari warnanya yang pekat dan berkilat-kilat, Dila bisa saja menerka bahwa darah itu masih berkualitas baik. Akan tetapi, sebuah kesalahan sebab Dila tidak mengerti bagaimana lazimnya kantong darah itu disimpan untuk transfusi.
"Sebanyak itu?" tanya Dila.
Suara pintu kulkas yang ditutup menjadi peredam. Asti tersenyum pada Dila lalu menyibukkan diri dengan menyusun piring yang sudah kering ke dalam rak di kabinet bawah.
"Terkadang malah tidak cukup untuk persediaan dua minggu. Anemia bisa menyerang Ann kapan saja dan ia jelas membutuhkan transfusi darah yang cukup untuk memulihkan tenaganya."
"Ann yang malang." Nada suara Dila menurun dan rasa penasaran di benaknya belum sepenuhnya hilang. "Apa golongan darah Ann?"
Tangan Asti yang semula sibuk, berhenti sesaat. Menoleh ke belakang, menatap wajah Dila. "AB+."
"Ah, apa itu golongan darah langka?"
"Lumayan."
"Golongan darahku O, kudengar O bisa menyumbangkan darah ke mana saja."
"Ann berbeda. Dia tidak bisa menerima sembarangan darah."
Apa yang dikatakan Asti berhasil membuat bibir Dila spontan terkatup. Kedua matanya masih melekat pada Dila. Gadis itu hanyalah orang awam yang tak begitu paham soal medis. Apa pun yang diutarakan Asti, jelas peluang besar baginya untuk menyelamatkan apa yang menurutnya penting.
Barangkali rasa penasaran Dila telah menyurut. Saat gadis itu meneguk air esnya, Asti mengembalikan wajahnya ke depan dan meneruskan kesibukan. Suara denting piring yang disusun membuatnya jauh lebih baik. Pada udara yang sedikit gelisah, Asti menarik napas ketika Dila sudah meninggalkan dapur.
***
Rutinitas berjalan bagai rantai yang tak pernah putus. Beberapa hari berikutnya, Asti bisa melihat kondisi Annawi membaik. Dalam artian, Annawi menanggalkan rona pucat di wajahnya. Seakan anak itu menaruh dan menyimpannya ke dalam wadah khusus. Yang mungkin, atau bakal ia pakai lagi sewaktu-waktu. Di saat bersamaan, pada jam-jam penting sebelum siang, Asti melihat Annawi tidak sendiri di dalam kamarnya. Boneka-boneka itu menumpuk, memenuhi rak dan juga tempat tidurnya.
Anak itu duduk bersila di atas kasur, kepalanya ditutupi kupluk berwarna peach. Menjahit bagian pinggir boneka yang hampir jadi secara manual. Kain-kain flannel berwarna kuning bertebaran bagai daun yang berguguran. Kapas silikon berkilauan di terpa cahaya matahari. Asti berharap benda ringan itu tidak berhambur dan berterbangan ke udara. Apa jadinya jika Annawi menghirupnya?
Asti pun dengan cepat menarik laci nakas di sebelah tempat tidurnya. Mengambil masker. "Ann melupakan ini," katanya. "Sudah sering kali Ibu bilang, gunakan maskermu jika sedang mengisi kapas."
Tanpa persetujuan—dan mau tidak mau Annawi juga harus setuju—Asti mengaitkan dua sisi tali masker ke daun telinga Annawi. Hanya senyum seumpama maaf yang ditunjukkan anak itu, menipiskan kelopak mata.

KAMU SEDANG MEMBACA
MENUBA [Tamat]
Mystère / ThrillerAnnawi pernah bertanya pada ibunya mengapa ia dilahirkan dalam keadaan terdoktrin untuk mati perlahan-lahan. Namun ibunya tak memiliki jawaban spesifik mengenai itu. Leukemia yang dideritanya sejak berusia lima tahun jelas menjadi penghambat perkem...