Dua puluh lima

608 191 30
                                    

"Ternyata sudah jam lima pagi."

Gawainya terjatuh ke lantai. Suara geletak terdengar. Ibunya mematung dengan tatapan curiga seketika itu juga. Namun tumit Annawi, ternyata bergerak lebih cepat dan mendorong benda itu masuk ke dalam kolong. Jantungnya berdebar tak karuan tatkala sosok ibunya yang tampak buram mematung di depan pintu.

"Apa yang jatuh?" tanya Ibunya.

"Umm ...?" Annawi gugup. Ia langsung berjongkok dan berpura-pura memeriksa sesuatu yang jatuh. Sisi kiri kepalanya menyentuh lantai, mencari apa saja yang bisa ia jadikan bahan untuk memanipulasi. Gawai itu ia dorong lebih dalam, di dekatnya, ada sebuah botol parfum berbentuk persegi yang isinya tinggal setengah tergeletak. Annawi meraihnya lalu menunjukkannya pada Asti. "Ini, tadi Ann temukan tidak sengaja di bawah bantal. Baunya tidak enak."

"Ah, ini parfum yang sudah lama Ibu cari-cari. Akhirnya ketemu." Asti mengambil parfum dari tangan Annawi sembari anak itu duduk di tepi tempat tidur. "Ini air putihnya," ujarnya sambil menyodorkan.

Rasanya dadanya lega begitu Annawi meneguk air putihnya. Seandainya ia terlambat sedikit saja, barangkali ibunya bakal menghukumnya dengan cara yang ia tidak akan bisa tahu. Mengingat bagaimana perlakuan ibunya ketika ia pergi diam-diam menemui dr. Danu saja, Annawi hampir kehilangan nyawa. Sejujurnya trauma itu ada bahkan mengikutinya bagai bayangannya sendiri.

Ia berharap, setelah ibunya memberinya minum, maka ibunya akan tetap terjaga dan memulai aktifitas paginya sebagaimana biasanya. Namun yang ia temukan justru sebaliknya. Ibunya kembali tidur, memaksanya pula untuk tidur juga. Jika tidak dituruti masalahnya pasti bakal semakin rumit.

***

Asti bisa kembali tenang begitu memperoleh kembali hartanya yang paling berharga. Ia tahu Annawi masih begitu lemah dan tak seharusnya anak itu berkeliaran di jalan raya dengan alasan ingin pulang. Sejak kecil putrinya itu terlalu sering bolak-balik rumah sakit, Asti memahami mengapa Annawi muak dan tidak betah berada di tempat yang menurutnya bagai penjara. Akan tetapi, bagaimanapun putrinya masih terlalu polos dan tak tahu seluk beluk dunia. Asti tentu mengkhawatirkan hal-hal yang dapat membahayakan anak itu sendiri.

Mengapa tidak mengatakannya saja terus terang jika Annawi ingin pulang. Asti pasti akan mempertimbangkan hal itu dan mendiskusikannya dengan dokter. Sebagai anak yang sadar akan kesekaratan dirinya, Annawi barangkali benar-benar tak ingin menghabiskan sisa hidupnya di tempat yang memuakkan. Rumah, adalah tempat terbaik untuk berpulang ke tempat yang lebih tenang. Meski dengan cara apa pun Asti tak akan membiarkan Annawi meninggalkannya. Ia sudah berjuang sampai pada titik ini, membesarkan anak itu sendirian dan memenuhi relung hatinya dengan cinta. Rasa sakit yang diderita Annawi bukan tanpa sebab, Asti bakal terus menganggapnya sebagai anak yang membuat batinnya tenang dan tentram.

Asti belum mengizinkan Annawi turun dari tempat tidurnya. Mengingat efek obat kemoterapi masih memengaruhi, Asti tahu betul kalau anak itu pasti masih sangat kelelahan. Biasanya efeknya baru akan hilang satu minggu kemudian. Ini tidak seperti hari atau pagi biasanya, hingga matahari menyingsing dan jam dinding menunjukkan pukul delapan pagi, Asti masih bergelung di dalam selimut. Bersama Annawi, bersama putrinya yang tampak gelisah sepanjang waktu.

Yang ia lakukan justru bermalas-malasan di dalam kamar. Tanpa pergi ke dapur menyiapkan makanan, atau bahkan melakukan pekerjaan rumah seperti yang seharusnya. Entah mengapa ia hanya ingin bersama Annawi. Menghabiskan waktu bersama, memijit kaki dan lengan Annawi, mengikir kuku, dan bercerita tentang hal-hal yang melibatkan masa kecil putrinya.

"Rasanya malas melakukan apa-apa. Apa Ann ingin Ibu masakan sesuatu? Tapi Ibu benar-benar sedang ingin di kamar."

"Ann ingin mandi, Bu. Sudah berapa hari sejak di rumah sakit Ann tidak mandi."

MENUBA [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang