Sebelas

637 198 44
                                    

Asti menyelesaikan pekerjaan rumah lebih lama dari biasanya. Belakangan, kepalanya sering migrain dan ternyata cukup berdampak pada aktifitasnya yang jadi melambat. Begitu ia selesai membuat sarapan untuk dirinya sendiri juga Annawi, Asti pergi ke halaman depan untuk memeriksa putrinya. Anak itu pasti sudah kepanasan terkena sengatan matahari sejak tiga puluh menit yang lalu.

Sayangnya, Asti menemukan hal lain. Ia hampir mematung di muka pintu saat melihat dr. Danu memapah Annawi beranjak dari kursi roda. Menuntun anak itu untuk melangkahkan kaki satu per satu. Ia tak tahu mengapa kepalanya terasa memanas terlebih ketika dilihatnya mereka saling tertawa. Asti bukan tak suka melihat putrinya bahagia, tetapi ia tak suka bila ada laki-laki yang bicara sedekat itu dengan putrinya. Annawi masih terlalu remaja untuk menerima pengaruh laki-laki meskipun dr. Danu tergolong pria dewasa.

Lagipula, Annawi tak seharusnya beranjak dari kursinya. Asti tak dapat lagi menunggu. Ia bergegas menghampiri. Meraih pundak Annawi dari belakang, menggenggam lengan putrinya sampai-sampai Annawi terkejut setengah mati.

"Kembali ke kursimu, Ann."

"Ibu?"

Paras bingung dan terkejut putrinya dapat Asti lihat dengan jelas. Ia sedang tidak ingin melihat reaksi dr. Danu. Ia bahkan tak berharap pria itu bicara atau mungkin reaksi yang lebih buruk bisa saja ditunjukkan Asti.

"Sudah Ibu bilang untuk tetap duduk dan jangan banyak bergerak."

Jemari dr. Danu menjauh dari pegangannnya semula. Tentu saja, Asti memperoleh tatapan aneh dari pria itu.

"Saya hanya ingin membawanya berjalan sedikit agar kakinya tidak lemas terlalu lama, Bu Asti."

Asti tak memedulikan omongan dr. Danu, tetap menuntun Annawi kembali duduk ke kursinya. "Ibu akan membawa Ann masuk untuk sarapan. Setelah itu kita mandi, minum obat dan Ann harus beristirahat setelah ini."

Seharusnya Annawi menuruti apa saja yang dikatakan olehnya. Akan tetapi, dada Asti seperti ditumbuk saat Annawi membantah.

"Ann masih ingin di sini. Dr. Danu sudah berjanji untuk membantu Ann agar bisa berjalan."

Tangan Asti mematung setelah melepas breaker roda. Ia menatap mata Annawi lekat-lekat. "Ibu yang akan membantu Ann. Dr. Danu harus bertugas dan dia tidak bisa berlama-lama."

"Saya sedang tidak sibuk, kok, Bu Asti. Saya sangat senang bisa membantu Ann."

"Maaf, dr. Danu. Saya tahu seperti apa kondisi Ann. Dokter menyuruhnya untuk tidak banyak bergerak sampai sakit di punggungnya membaik. Yang dr. Danu lakukan dengan menuntunnya berjalan adalah sebuah kesalahan."

"Separah apa?" tanya dr. Danu.

Asti menarik napas. Memegang kedua pundak Annawi dari belakang dengan tatapan yang masih tertuju pada dr. Danu. "Buruk," jawabnya. "Saya sedang tidak ingin membahas soal ini, tetapi saya mohon pada Dokter agar tidak bicara soal harapan-harapan palsu pada Ann."

"Apa maksud Bu Asti dengan harapan palsu? Saya hanya membuka pola pikir Ann agar waktu yang ia habiskan bisa lebih berguna. Untuk semangat kesembuhannya."

"Dr. Danu, saya tidak ingin Ann bermimpi terlalu jauh. Yang terpenting untuknya saat ini adalah kesembuhannya. Sampai di situ saja dulu, Ann harus fokus pada kesembuhan."

"Saya minta maaf jika apa yang saya katakan pada Ann tidak sepemikiran dengan Bu Asti, tapi---"

"Ann harus sarapan dan minum obat." Asti memotong omongan dr. Danu. "Sebelum makanannya dingin. Terima kasih sudah menjenguk putri saya, Dok."

Annawi meremas emojinya, sempat memandangi dr. Danu ketika Asti membawanya masuk ke dalam rumah. Asti tidak peduli meski ia tahu dokter muda itu masih bergeming di tempatnya, menatap kepergian mereka sampai benar-benar menghilang. Suara mesin motor pun menjadi pertanda bahwa dokter itu sudah enyah.

MENUBA [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang