19. Terkej00ed📍

89 36 4
                                    

Gattan melangkah dengan langkah lebar untuk lebih cepat sampai ke dalam ruangan Pahel. Setelah ia mendapat kabar bahwa Pahel sadar, ia langsung menuju rumah sakit tempat Pahel di rawat.

Gattan berhenti tepat di depan ruang rawat Pahel, pintunya sedikit terbuka dan samar-samar ia mendengar percakapan di dalam sana, saat ia mengintip ternyata Pahel dengan Genta.

Ada sedikit rasa iri dan sakit yang menggerogoti hatinya, ia tersenyum getir. Setidaknya Pahel bisa tenang bukan?.

Ia duduk di depan ruang rawat Pahel, Rain dan Elina sudah pulang karena hari sudah menjelang malam. Gattan mengembuskan nafasnya lelah.

Tak lama setelahnya, terlihat Genta yang keluar dari ruangan Pahel dan tersenyum tipis kearah Gattan.

"Pahel gimana?" tanyanya to the point.

"Ya gitu, tapi sekarang dia tidur, lo kalo mau masuk, masuk aja. Tapi jangan berisik, gue mau ke kantin dulu," pamitnya sambil menepuk pundak Gattan pelan, Gattan mengangguk mengarti.

Setelah Genta menjauh, ia memasuki ruangan Pahel, ia melihat bahwa Pahel tidak tidur.

Pahel menoleh kearah Gattan dan tersenyum tipis. Gattan merasa hatinya teriris melihat senyum penuh luka yang ditunjukkan Pahel, ia menghampiri Pahel dan langsung mendekapnya hangat.

"Gue kira lo ga bangun Hel," candanya mencairkan suasana.

"Enak aja," sungut Pahel kesal membuat Gattan tertawa lepas.

"Gattan," panggil Pahel kepada Gattan yang belum melepas dekapannya

"Hm," dehem Gattan sambil sedikit menunduk guna melihat wajah Pahel yang menatap kearahnya.

Pahel seperti ingin mengatakan sesuatu, namun ia ragu membuat Gattan menyerit heran. "Kenapa?" tanyanya heran, ia melepas dekapannya dan duduk di kursi samping bankar Pahel.

"Hah?" jawab Pahel gugup.

Gattan terkekeh pelan sambil mengusap rambut Pahel. "Mau ngomong apa Hel?" ulangnya lembut membuat Pahel menggeleng.

"Gajadi."

"Yakin?".

"Iya."

"Jangan boong."

"Ngga."

"Serius nih?".

"Apasi."

Gattan tertawa renyah dengan raut kesal yang ditunjukkan oleh Pahel, Pahel meliriknya sinis seraya berdecih.

"Genta mana?" tanyanya setelah sekian lama terdiam.

Gattan memandang lamat-lamat wajah Pahel dengan raut muka yang tak terbaca. "Kantin," sahutnya singkat dengan melanjutkan acara bermain ponselnya.

Pahel menganggukkan kepalanya, ia membaringkan tubuhnya pada bankar tempatnya tidur. Gattan mendongak dan menatap manik mata Pahel yang biasanya menunjukkan tatapan tajam, namun kini tatapan sayu yang ia dapatkan.

"Hel, ikut kemo ya?" Gattan memandang Pahel harap-harap cemas.

Pahel tersenyum kecut. "Yah udah kebongkar," dengan nada putus asa ia berucap, tak ada nada datar ataupun sinis yang terlontar.

Gattan menaikkan sebelah alisnya. "Apanya?".

"Percuma juga." Putus nya.

"Apasih Hel, selagi masih ada kesempatan buat nyembuhin, kenapa ngga?" dengan nada paksaan, ia kembali membujuk Pahel.

"No!" final Pahel.

"Lo mau tambah parah? tambah susah buat sembuh? masa depan lo masih panjang. Jangan gunain masa depan lo dengan menikmati sakit yang gaada faedahnya gini! sekali-kali ngertiin perasaan orang juga Hel!" kesal Gattan membuat Pahel menengok kearahnya dan menyunggingkan senyum meremehkan.

"Kalian juga harus ngerti perasaan gue, gue yang sakit dan gue yang ngerasain. Ga usah sok peduli," sakrasnya.

"Lo Gagal ginjal Hel, bayangin. GAGAL GINJAL, apa kenyataan itu ga ngebuat lo sadar? apa justru lo seneng dengan penyakit sialan ini? iya?!" Tanpa disadari Gattan, nada suaranya meninggi.

"Gue ga habis pikir sama jalan pikir orang kaya lo! entah cuma mau caper biar dibujuk orang atau emang sengaja pengen mati," lanjutnya dengan menggebu-gebu. "Kalo emang lo mau mati, jangan ngandelin penyakit, kelamaan. Bunuh diri aj—" perkataan pedas yang akan terlontar dari mulut Gattan berhenti kala Pahel menyela ucapannya.

"Gue cuma menerima garis takdir, gue cuma ngejalanin hidup gue dengan damai. Kalau pun gue mati dengan penyakit ini, itu tandanya takdir. Dan apa lo bilang? bunuh diri?, hahaha gue rasa gue masih waras untuk melakukan tindakan bodoh kaya gitu," Pahel menjawab dengan santai. "Sekali lagi, gue gabakal caper sama manusia jenis bangsat kaya lo, cihhh ga sudi gue," tanpa sadar, sifat polos yang Pahel jaga terbongkar. Biarkan ia berbicara menggunakan kata kasar atau bahkan ia mengumpat.

"Hel!" bentak Gattan penuh peringatan.

"Keluar," balas Pahel datar untuk mengusir Gattan, Gattan menggeleng.

"KELUAR!" bentakan nyaring yang baru pertama kali Pahel keluarkan.

Gattan menatap Pahel tak percaya, sifat Pahel sekarang berubah 180° dari biasanya. Pahel yang polos dan dingin berubah menjadi Pahel yang keras dan kejam.

Gattan menyerah. "Terserah," finalnya, dengan langkah kaki lebar, ia berjalan keluar ruangan Pahel.

Tanpa mereka sadari, sedari tadi seorang gadis sedang menutup mulutnya tak percaya, ia merasa dibohongi oleh teman atau bahkan sahabatnya.

Brak

Pintu terbuka secara tiba-tiba dengan kasar membuat Pahel berjingkat kaget.

"Tega banget lo," sakras seseorang tadi.

"Hah?" dengan wajah polosnya Pahel menjawab, ia tak tau alur permasalahannya.

"Rain udah tau?" bukannya menjawab, ia malah bertanya dengan nada sinis.

"Tau apaan si?" kesal Pahel.

"TAU KALO LO GAGAL GINJAL HEL!" Bentak Elina, seseorang tadi.

Perkataan Elina membuat Pahel terkejut, lalu tersenyum tipis. "Terus?".

Elina menggeleng. "Kalian nyembunyiin ini dari gue sialan!" maki Elina kesal.

"Sekarang udah tau kan?" balas Pahel santai membuat emosi Elina semakin meningkat.

"KENAPA HARUS YANG TERAKHIR?" Elina berujar dengan suara keras, lagi.

"Gaada bedanya," sahut Pahel acuh, tak ada raut penyesalan ataupun bersalah karena ia merasa bukan ia yang bersalah.

Elina menggeleng. "Cristova?" suara Elina melirih tapi masih dengan nada sinis. "Keluarga yang lo sembunyiin juga, iya?" sakrasnya sebelum Pahel menjawab.

"Iya, puas," kesal Pahel, entah mengapa dirinya ikut-ikutan terbawa emosi.

Elina tertawa sumbang. "Gue siapa lo? sahabat kan? terus kenapa banyak yang lo sembunyiin?" ucap Elina dengan nada frustasi sambil menyugar rambut nya.

"Sahabat tuh ngedukung, bukan malah marah-marah gini" balasan terdengar, bukan dari Pahel, melainkan sosok di belakang Elina yang baru memasuki ruangan, dia Rain.

Elina dan Pahel menoleh. "Yang namanya persahabatan gaada kebohongan ya," sinis Elina.

"Semua orang butuh privasi," ketus Rain dengan wajah datarnya.

"Terserah," setelahnya, Elina meninggalkan ruangan. Membiarkan Rain dan Pahel di dalamnya.








Assalamualaikum mentemennn...

JANGAN LUPA VOTE AND KOMEN...

FOLLOW AKUN INIII

DAN FOLLOW INSTAGRAM
@avr vee
















-ALVER
-DEATH DIARY


📍📍📍

Bayangan Kalbu [ TERBIT ] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang