15. Wait📍

117 45 3
                                    

Gattan masih setia menunggu di depan ruang periksa Pahel dengan tampilan yang acak-acakan. Sudah satu jam lebih ia menunggu, namun Pahel ataupun dokter yang menangani Pahel tak kunjung keluar membuat Gattan harus menahan rasa ingin tahunya.

Derap langkah kaki memenuhi koridor rumah sakit yang terasa sunyi, dari kejauhan terlihat Elina dan Rain sedang berjalan terburu-buru menghampiri dirinya.

"Pahel gimana?" cecar Rain langsung dengan nada khawatir.

"Belum ada kabar," jawabnya membuat Rain dan Elina menghembuskan nafas kasar.

Tadi, Elina dan Rain memang nekad untuk membolos setelah Bu Endang keluar dari kelas, namun tak berjalan mulus sesuai dengan rencana. Mereka harus mencari alasan kepada Pak Ojay, si penjaga gerbang sekolah, sampai Pak Ojay percaya.

Dan perjuangan tak mengecewakan hasil walaupun harus bersabar dengan segenap jiwa dan raga, lagi pula jam pulang akan berbunyi satu jam lagi.

"Dia kenapa sih?!" kesal Elina kepada Gattan karena Gattan belum menceritakan peristiwanya.

Gattan mendongak menatap datar Elina yang sedang berdiri di depannya meminta penjelasan. "Duduk," perintah nya.

"Jelasin sekarang se detail-detailnya," titah Rain yang ikut duduk di samping Gattan, jadi posisi Gattan di tengah-tengah mereka berdua.

Gattan menghela nafas, ia mulai menceritakan dari awal Pahel bertemu dengan Genta, darah yang keluar dari hidung Pahel, bahkan saat Pahel izin ke toilet pun ia jelaskan.

Decitan bangku terdengar memekakan telinga bagi siapa saja yang mendengarnya. Rain berdiri dari duduknya dengan wajah merah. "Kenapa ga lo anterin sih?!" omelnya pada Gattan.

"Tadi gue bilang dia gak mau!" jawab Gattan yang mulai tersulut emosi. Nafas keduanya terengah-engah menahan emosi yang mereka pancarkan lewat tatapan masing-masing.

Sedangkan Elina, ia masih memikirkan mengapa Pahel sampai seperti itu. Jika sakit biasa, tak mungkin akan selama ini penanganannya.

Suara decitan pintu terbuka dan menampakkan dokter muda, bisa diperkirakan dokter itu berusia sekitar 20 keatas.

"Dengan keluarga pasien?" tanyanya ramah dengan senyuman tipis membuat Elina dan Rian terbengong melihatnya.

"Kami temannya," jawab Gattan yang sudah berdiri dari duduknya.

Dokter itu menghela nafas. "Tolong hubungi keluarga pasien," perintahnya membuat ketiganya saling pandang. "Tidak harus hari ini," lanjutnya.

"Dok, boleh kita masuk?" izin Rain yang sudah tak sabar.

Dokter tadi menggeleng pelan. "Pasien butuh penanganan khusus," ujarnya.

"Kalau boleh tau, pasien sakit apa dok?" sela Elina.

"Pasien mengidap penyakit—, " perkataan dokter David terpotong karena panggilan dari dalam.

"Dokter David, pasien akan segera sadar."

Dokter David menoleh, ia tersenyum pada Gattan, Elina, dan Raina sebelum memasuki ruangan tempat dimana Pahel ditangani.

"Pahel," girang Rian.

"Sakit apa tadi kata dokter ganteng?" bingung Elina pada keduanya.

"Belum dikasih tau," sahut Gattan sambil mendudukkan dirinya di kursi depan ruangan Pahel.

Bermenit-menit hening, mereka diam dan bertarung dengan pemikirannya sendiri-sendiri sampai tak sadar bahwa Rayyan, Ardan, Dimas, dan Devan sudah berada di sekitar mereka.

Bayangan Kalbu [ TERBIT ] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang