7. Numb📍

176 85 40
                                    

Bukan ... bukan Siska yang menjemput Pahel, melainkan Gattan?.

What the hell. Sungguh ia malu sekarang, ia kira tadi adalah mobil Siska, dan ZONK!. Ia merasa tertipu!.

Sedangkan Gattan? mengulum tawa yang ia tahan sedari tadi, sungguh, Pahel merasa ditelanjangi ramai-ramai.

Mereka berdua duduk anteng di mobil dengan keadaan hening, Pahel yang masih sibuk dengan pikirannya, sedangkan Gattan fokus pada jalanan di depannya, menuju Apartemen tempat tinggal Pahel.

Selain di rumah Siska, Pahel memang memiliki Apartemen pribadi yang jarang ia kunjungi. Sekarang? mau tak mau ia harus ke Apartemennya, agar tempat tinggal aslinya tak terbongkar bukan?.

Gattan dengan segala kelebihannya mampu meluluhkan hati ratusan wanita, tapi mengapa tidak dengan Pahel? mengapa Pahel merasa biasa saja jika bersama dirinya? atau bahkan sering kali menganggap dirinya tak ada. Itulah yang dipikirkan Gattan.

Mobil sedan warna putih terparkir di depan Apartemen tempat tinggal Pahel, beberapa saat hening, Pahel gengsi untuk mengucapkan 'terimakasih'.

"Makasih," putus Pahel pada akhirnya, Gattan mengangguk singkat dan membuka pintu mobil, disusul oleh Pahel.

"Ngapain?" tanya Pahel ketika menyadari bahwa Gattan mengikutinya hingga Lobby.

"Mampir," hampir saja Pahel mengeluarkan matanya dari tempatnya, pernyataan macam apa itu? siapa yang menawarinya?.

"Why?" tanya Gattan pada Pahel yang mematung beberapa saat.

Pahel menggeleng dan berjalan mendahului Gattan, menuju lantai 12, dimana kamarnya berada.

"Mau masuk?" tawar Pahel.

Gattan tersenyum tipis dan menggeleng. "Ada sesuatu yang gue harus kerjain," jawabnya.

"Gue balik," Pahel mengangguk mengarti, dan setelahnya membeku. Tangan kekar milik Gattan mengusap pucuk kepalanya, mengelusnya dengan lembut, disertai senyuman tipis yang senantiasa terpatri di wajah datarnya. Omooo tampan sekali!.

Gattan menarik tangannya dari kepala Pahel dan melenggang pergi, meninggalkan Pahel yang masih membeku, ingin rasanya ia teriak.
Rasanya bercampur aduk. Deg-degan, kesal, dan bahkan bahagia? ah apa-apaan Pahel ini.

Pahel menggelengkan kepalanya untuk menghilangkan pikirannya, ia masuk kedalam dan membanting dirinya di sofa. Lagi, bahagia yang baru saja ia rasa sudah menghilang. Tergantikan dengan rasa sendu, ia tidak ingin ini, ia benci rasa ini.

Pahel, seseorang dengan jiwa sok tangguh, bodoamatan, males-malesan, dan bahkan rela menutup mata dan telinganya agar ia bisa menikmati kesunyian.

Disaat semua orang sedang berlomba-lomba mendapatkan teman sebayanya dengan tujuan bermain bersama, berbagi cerita, bahkan untuk bersenang-senang, Pahel sama sekali tidak peduli, ia hanya butuh Siska, sudah cukup.

Pahel yang dulunya ceria, disukai banyak orang dan banyak yang ingin berteman dengannya, sekarang? semua berubah seratus delapan puluh derajat. Pahel yang sekarang dijauhi banyak orang, sering digosipkan, dan lain-lain.

Pahel benci tapi Pahel tak peduli, ia sudah bertekad untuk tidak memperdulikan hal tak penting yang hanya akan merusak mentalnya lebih parah.

Pahel bukan hanya berjanji pada dirinya, tapi juga pada Siska, ia tak ingin Siska terus-menerus sedih karena melihat keadaan Pahel yang sering kali kacau.

Pahel sudah mati rasa.

Pahel seolah tuli dengan cemoohan orang sekitar.

Pahel seolah buta dengan lirikan tajam orang-orang.

Pahel kebal, tak ada lagi percaya dan simpati yang tersimpan di hatinya, hatinya seolah beku dengan itu semua.

Masalalu dimana dirinya mulai dijauhi teman-temannya terlintas lagi di benaknya. Menurutnya, tak ada orang yang benar-benar tulus berada di samping kita, semuanya hanya drama semata. Mereka mendekati, mengorek informasi, menjadikan kita bahan gosip, dan pergi meninggalkan kita seorang diri.

Muak, satu kata beribu makna. menurut Pahel.

Tak ada niatan untuk pulang kerumah Siska, ia lelah, ingin istirahat, dan beraktivitas esok hari.

Tak ada niatan bunuh diri seperti anak broken home kebanyakan, dirinya hanya suka melukai diri dengan menggoreskan benda tajam di sekitar tubuhnya sampai mengeluarkan darah segar, setelahnya ia obati kembali. Tak berfaedah memang, namun mampu menenangkan.

Ia mengenyahkan pikirannya yang entah melencang kemana, ia bangkit dari duduknya dan membersihkan dirinya, setelahnya ia akan menjadikan sore yang indah ini dengan menjemput alam mimpinya, tidur.

Pahel tengah duduk bersantai di depan meja riasnya, ia menyisir rambutnya sesekali mulutnya bergumam mengumandangkan lagu dengan lirih.

Setelah selesai, ia bangkit dan tersenyum riang, senyum yang jarang ia tunjukkan untuk semua orang.

"Kamu cantik, tapi menyedihkan," ujarnya dengan tangan mengelus permukaan kaca dibagian wajahnya, berasumsi jika ada teman yang sedang menemaninya.

"Kamu sih," ia bingung akan mengatakan apalagi kepada bayangannya di cermin.

"Pahell," girang sesosok anak kecil dengan tinggi sebatas pinggang Pahel, dia Jeslyn.

Pahel berkacak pinggang menatap datar gadis cilik yang mengenakan gaun putih dengan panjang sebetis.

"Kamu kenapa baru kesini?" dengan tampang imutnya, ia berbicara dengan logat yang terkesan aneh —Jeslyn-Belanda—

"Banyak urusan," timpal Pahel yang berjalan menuju tepi ranjang, diikuti Jeslyn tentunya.

"Ayo main," ajaknya girang, Pahel berdecak malas.

"Jes, aku cape," keluhnya.

"Makanya ikut Jeslyn aja, biar ga cape," bujuknya.

"Gamau."

"Harus mau," paksa nya.

"Kalo ga mau?" tantang Pahel.

"Katanya mau bareng aku terus," dengan bibir mengerucut, ia berucap ketus.

"Ga bisa, aku sama kak Siska aja."

"Aku bakal ajak Siska duluan," perkataan sakral menurut Pahel, ia menggeleng dengan muka pucat pasi.

Jeslyn terbahak tentunya, ia kira Pahel akan tetap menjadi Pahel, si bodoamatan yang tak peduli sekitar.

"Kenapa baru kesini?" alih-alih mengalihkan topik, Jeslyn berujar dengan sinis.

"Kan tadi aku bilang, sibuk," tekannya, Jeslyn menganggukkan kepalanya.

"Mau cerita?" tanyanya.

Pahel mengangguk sedetik setelahnya menggeleng.

"My secret," desisnya dengan kekehan kecil setelah melihat respon Jeslyn yang kesal tentunya.

"Laat me raden," tantangnya menggunakan bahasa tanah kelahirannya.

Mata Pahel membola. "Don't guess!!" serunya nyaring. Jeslyn terbahak, setidaknya Pahel melupakan sejenak rasa suntuknya.





"Ternyata lebih baik tertawa daripada merenung memikirkan nasib sial"---unknow

Kalo ada yang bingung
Jeslyn siapa, jawabannya teman Pahel ya guys, jadii gausah di pikirkan, hehe.

Makasih buat yang udah ngevote, dan makasih buat yang udah follow.

tetap setia di hati Indomie❤️😭

-ALVER
-DEATH DIARY

Bayangan Kalbu [ TERBIT ] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang