6. Rumah pohon📍

196 85 40
                                    


-terlalu menyakitkan jika peduli hanya karena
kasihan-


***

Jam pulang sekolah berbunyi 5 menit yang lalu, namun Pahel dan teman sekelasnya tak ada yang beranjak dari tempat duduknya untuk pulang kerumah.

Seakan mereka semua tuli, mereka terlalu betah di dalam kelas padahal guru sudah keluar saat bel pulang berbunyi.

Apa yang dilakukan mereka? Pahel tak tau jelas, intinya kebanyakan dari mereka menggunakan ponselnya dalam keadaan miring, mabar mungkin.

Suara langkah mendekat kearah Pahel yang sibuk dengan ponselnya, Siska tak menjemputnya karena ada pasien kritis yang harus ia tangani.

"Pahel," panggil seseorang dengan suara beratnya, Pahel jelas tau siapa pemilik suara itu, ia tak mendongak atau melirik sedikitpun.

"Pahelsca pricilladisty," panggilan dari orang itu dengan nada tegas, tak selembut awal ia memanggilnya. Mungkin muak akan sikap Pahel yang kekanak-kanakan.

Pahel mendongak menatap datar lawan bicaranya. "Ayo pulang," ajak Genta, seseorang yang tadi memanggilnya.

"Ga mau," ketus Pahel, selalu saja seperti itu, ia tak bisa mengeluarkan emosinya didepan Genta, jika ia mengeluarkan emosinya, yang ada wajahnya seperti anak kecil berumur 5 tahunan.

Genta terkekeh pelan melihat tingkah Pahel yang tak pernah berubah. Teman Pahel, Rain, sedari tadi terus memperhatikan mereka, takut takut jika Pahel dilukai. Ia memang teman baru, tetapi ia sangat peduli pada Pahel, menurutnya Pahel itu berbeda dari teman yang sering ia jumpai.

"Nanti Genta beliin es krim deh," bujuknya, mata Pahel berbinar sesaat, setelahnya memasang wajah acuh. 'Gengsi woi' batin Pahel.

"Pahelsca," panggilan tegas kembali lagi, nyali Pahel menciut, ia berdiri karena merasa jengah, lagipula ini sudah jam pulang kan?.

Gattan, ia tak berekspresi apapun, tetap diam mendengarkan apa yang mereka bicarakan, toh ia tak peduli.

Genta tersenyum puas setelah melihat Pahel berjalan mendahului nya, Genta adalah kakak kelas mereka, maka dari itu tak ada yang berani mengikut campuri urusannya, biarkan ia menyelesaikan urusannya dengan teman sekelasnya.

"Pahel," panggilan khawatir dari Rain saat Pahel melewati mejanya, Pahel menengok dan tersenyum tipis tanda bahwa tak usah khawatir. Jujur hatinya menghangat ketika ada yang mengkhawatirkan dirinya.

"Apa?" Pahel berbicara to the point, ia tak ingin berbasa-basi.

"Pulang lah, kan Genta tadi bilang pulang," jelas Genta sambil menarik tangan Pahel, Pahel tak menolak ataupun membalas.

"Gue udah ga tinggal sama bokap nyokap," jelas Pahel saat keduanya sudah sampai di dalam mobil milik Genta.

"Hmm, terus Pahel tinggal dimana?" tanya Genta, terlihat kerutan samar di dahinya membuat Pahel tersenyum kecil.

Ia akan menunggu Siska menjemputnya, ia tak mau tempat tinggalnya diketahui oleh orang lain, terutama teman dekatnya dahulu.

"Ada, gue gamau pulang sekarang," alibinya.

"Pahel mau kerumah pohon?" sahut Genta yang mulai menjalankan mobilnya.

Rumah pohon yang dimaksud Genta adalah tempat bermain mereka berdua dulu, lokasinya di samping Danau, Pahel sudah jarang mengunjunginya. Dengan amat terpaksa, ia mengangguk. Ia tak mau tempat tinggalnya dan Siska diketahui Genta, dan ia mau tak mau harus bersama Genta lebih lama.

Hening yang mereka ciptakan, Pahel tau Genta adalah orang yang tidak bisa diam, dan Pahel termasuk orang yang bisa menyesuaikan suasana. Seperti sekarang, ia tak merasa keberatan jika hening melandanya. Lain halnya dengan Genta yang sudah bergerak tak nyaman.

"Ngomong dong Hel," paksa Genta.

"Ngomong?" ulang Pahel, Genta mengangguk.

"Asal jangan diem gini Hel, ga betah sumpah," keluh Genta, gantian Pahel mengangguk. Ia berencana mengerjai Genta dan sekalian menghindari terlalu banyak berkomunikasi dengan Genta.

Genta kembali merasa tak nyaman, ia tak berani menegur Pahel lagi karena raut wajah Pahel menurutnya sangat menyeramkan.

"Masih bersih," gumam Pahel setelah mereka sampai di dalam rumah pohon, tentunya setelah memanjat bukan?.

"Genta yang bersihin, Genta sering kesini kalo kangen Pahel," ceplos Genta yang sudah duduk memandang jauh Danau.

"Genta nunggu Pahel cerita semuanya, tapi Pahel ga cerita-cerita," ujarnya, Pahel tak paham. "Genta tau semuanya, Genta tau apa yang dialamin sama Pahel tentang keluarga Pahel, Genta minta maaf gabisa jaga Pahel, Genta nyesel" lanjutnya dengan mata menatap kosong kearah depan.

"Lo emang jahat," sahut Pahel. "Lo ngga ngebela gue waktu itu, dan lo pergi gitu aja tanpa seizin gue," sudah, Pahel akan mengeluarkan unek-unek nya dan rasa kesal yang terpendam dalam diri Pahel untuk Genta.

"Pahel, Pahel mau dengerin penjelasan Genta?" tanya Genta dengan pandangan yang beralih menatap wajah Pahel dari samping.

Pahel menggeleng, waktu yang menurutnya tak tepat, ia masih banyak dirundung masalah, ia tak mau menambah bebannya.

Genta membuang nafas pasrah, harapannya lenyap seketika.

"Gue mau dengerin, tapi ga sekarang, gue harap lo ngerti," Pahel tau Genta kesal karena tak memberi kesempatan untuk menjelaskan kesalahpahamannya.

"Genta bakal tunggu Pahel," jawabnya mantap, ia akan meluruskan semuanya, ia tak ingin mengecewakan sahabat tersayangnya, sudah cukup bertahun-tahun lamanya ia menderita.

"Pahel tau? bukan hanya Pahel yang tersiksa secara batin, tapi Genta juga," ujarnya tiba-tiba, Pahel menyerit bingung.

"Ah Genta pengen banget cerita semua keluh kesah Genta ke Pahel, tapi kan bukan sekarang waktunya, lagian kan kita baru ketemu ya Hel?" lanjutnya disertai tawa sumbang.

"Pahel sekolah disitu sejak kapan?" tanya Genta mengalihkan topik awal.

"Sejak hari ini," jawabnya begitu enteng.

"Genta tau Pahel ga nanya, tapi asal Pahel tau, Genta sekolah disini dari awal masuk SMA, itu tandanya hampir 3 tahunan," cerocosnya membuat Pahel melotot. "Genta udah nyari Pahel, bahkan Genta sampe kerumah Pahel, tapi Pahel gaada," lanjutnya, Genta menghembuskan nafasnya lega karena Pahel tak jadi memarahinya.

"Gue mau pulang," pamit Pahel. "Jangan manggil nama."

Genta mengangguk ragu. "Gue anter?" tanya Genta yang dibalas gelengan oleh Pahel, ia menunjuk mobil berwarna putih yang berhenti di pinggiran jalan dekat danau, Genta mengangguk mengerti.

"Lo berubah ya Hel, apa seberat itu penderitaan lo?" gumamnya dengan mata menatap punggung rapuh Pahel dengan sendu.

"Semoga lo bisa ngertiin gue Hel, gue gamau lo tersiksa batin kaya gini lagi" bulat sudah tekad Genta, entah apa yang ada dipikirannya sekarang.

Terimakasih untuk yang sudah mem-vote cerita ini, terimakasih untuk yang sudah mem-follow akun ini, dan terimakasih untuk readers sejati❤️.

'hargai orang lain jika ingin dihargai.'

terapkan kata kata itu didalam hidup anda,
semoga kalian paham.
Ilovyu so much❤️

@avr_vee

-ALVER
-DEATH DIARY

Bayangan Kalbu [ TERBIT ] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang