27. Papa?📍

98 30 3
                                    

Seorang pria paruh baya duduk di kursi kebesarannya, dia Ronald. Dengan jas kebanggaannya membuat dirinya terlihat begitu berkharisma.

"Kemana Pahel?" ujarnya tegas.

"Anak itu? saya tidak tau!" jawab seseorang di sebrang sana penuh penekanan.

"Dimana Pahel, Laodya?!" tanyanya sekali lagi.

"Saya tidak tau!".

"Bagaimana bisa kau tidak mengetahuinya?!" geramnya.

"Saya telah mengusirnya dua tahun yang lalu."

"Tak berperikemanusiaan."

"Ronald, berkaca lah! kau juga yang meninggalkan dia bukan?".

Ronald diam tak tau harus berkata apa untuk membalasnya, memang benar dia yang meninggalkan nya terlebih dahulu. "Bukankah atas paksaanmu?" balasnya pada akhirnya.

"Hey! aku mengizinkanmu membawanya! tapi kamu malah meninggalkannya, dasar bodoh!".

Ronald menggeram kesal. "Cukup Laodya, cari dimana Pahel berada!" suruhnya membuat Laodya tertawa mengejek.

"Mencari sang pembawa sial hanya akan mendapatkan kerugian."

"Sungguh! kau adalah satu-satunya manusia yang tidak memiliki perasaan!" bentaknya.

"Terserah! aku sibuk, urus saja anakmu itu."

Saat akan menjawab, panggilan diputuskan sepihak oleh Laodya membuatnya menggeram kesal.

Ronald memijit pelipisnya dengan pelan mengenyahkan pikiran-pikiran yang bersarang di otaknya. "Bukankah aku sudah tidak peduli?" tanyanya pada dirinya sendiri.

"Mengapa aku justru mencarinya? tak berguna," putusnya pada akhirnya.

***

"Hel," panggil Rain saat mendapati Pahel yang sedang melamun.

"Pahel," Elina ikut serta memanggil serta menggoyangkan bahu Pahel membuat sang empu terkejut.

"Hah?" tanyanya linglung.

"Mikir apa si? jangan banyak pikiran deh! tuh dimakan," perintah Rain kesal. Saat ini mereka sedang berada di kantin sekolah, Pahel yang memaksa agar ia dibolehkan sekolah.

"Iya," sahut Pahel seperlunya sambil mendekatkan piring nasi goreng kehadapannya.

Elina seperti ingin mengatakan sesuatu, namun ragu. "Emm, Hel," panggilnya ragu.

"Apa sih lo," balas Rain sinis.

"Heh! Gue manggil Pahel," ketusnya.

"Hel," panggil Elina lagi dengan nada merengek, Rain yang mendengar itu berekspresi seperti orang ingin muntah.

"Apa?".

"Emm, rasanya gimana?" tanyanya tanpa penjelasan lebih membuat Pahel menyeritkan keningnya.

"Rasanya seperti anda menjadi Ironman," sambung Rain.

"Rasa?."

Elina menghembuskan nafas nya. "Sakit ga?".

Pahel yang paham hanya menganggukkan kepalanya. "Kadang."

"Kalian ngomongin apa sih?" bingung Rain.

Bayangan Kalbu [ TERBIT ] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang