8. Teman📍

153 75 33
                                    


Setelah perdebatan singkat antara Pahel dan Jeslyn, Pahel memilih untuk tidur dan meninggalkan Jeslyn yang selalu cerita tanpa adanya ending. Biarkan ia cerita tentang hari-harinya yang membosankan, Pahel lelah, ia ingin istirahat.

Mata Pahel menerjab lucu, pertama yang ia lihat adalah wajah Jeslyn yang berada di sampingnya, ia tertidur. Pahel mendengus, ia tak begitu suka dengan Jeslyn, tapi ia tak bisa berjauhan dengannya.

"Pahel udah bangun?" suara khas dengan logat aneh memasuki indra pendengarannya membuat lamunan Pahel buyar.

"Ga, masih merem," ketusnya.

"Pahel, tadi kan aku lagi cerita," dengan bibir mengerucut sebal, ia mengatakannya dengan lirih.

"Bosen," sakras Pahel.

"Hm," hanya gumaman yang didapatkan, Pahel menggelengkan kepalanya tak menyangka.

"Kalo aku sekolah di sekolahan Pahel, bisa ga ya?" tanyanya pada diri sendiri.

"Ga, masih kecil." Jeslyn dengan mata berwarna biru, berkulit putih susu, dan rambut pirang kecokelatan. Dia cantik, namun, Pahel sangat menyayangkan nasib Jeslyn.

"Pahel nginep kan?" ujarnya girang, Pahel mengangguk dan beralih menuju dapur untuk memasak makan malamnya.

"Jes, boleh tanya?" sedikit kepo dengan rasa yang dimiliki Jeslyn, ia bertanya.

Jeslyn mengangguk. "Apa?" tak kalah kepo, ia menanti pertanyaan yang terlontar dari si cantik Pahel.

"Rasanya sendiri tuh gimana?" Pahel memulai pertanyaan dengan tangannya yang sibuk mengiris bawang.

Jeslyn terdiam, ia memikirkan kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan dari seorang Pahel yang jarang sekali bertanya seperti ini, merasa tak ada jawaban, Pahel menoleh mendapati Jeslyn yang terduduk di bangku meja makan sedang melamun.

"Sakit, sedih, sepi," dengan pandangan kosong kebawah, Jeslyn menjawab. Air muka dari gadis itu menunjukkan bahwa dirinya tak baik-baik saja.

"Kecewa, kenapa setiap kita butuh, justru mereka pergi. Kesel, merasa terabaikan," lanjutnya dengan posisi masih sama.

"Aku sama kamu sama-sama sendiri, dan kita udah berteman, jadi aku dan kamu udah ga sendiri," jawab Pahel enteng.

"Kalo Jeslyn pergi?" pertanyaan terlontar begitu saja dari bibir kecil yang berwarna soft pink.

Pahel terdiam, ia tak suka pembahasan ini, ia tak bisa memilih, dan ia bingung harus apa. Hanya dengan Jeslyn Pahel banyak berucap, dan hanya dengan Jeslyn Pahel merasa tak sendiri. Siska? Pahel masih sedikit tertutup dengan Siska, ia ragu.

Pahel menggeleng tanda tak tau, Jeslyn menghembuskan nafas sejenak. "Pahel mau ikut?" ujarnya hati-hati.

"Kenapa pergi?" kali ini Pahel bertanya dengan serius, ia bahkan meninggalkan acara memasaknya sebentar.

"Karena Jeslyn ga abadi," jawabnya kelewat santai.

"Aku ikut," sela Pahel, Jeslyn melotot kaget, ia menggeleng tak setuju.

"Kamu harus kejar cita-cita," petuah si bocah ingusan ini.

Pahel mendengus dan melanjutkan aksi memasaknya, tak ada niat untuk melanjutkan obrolan lebih.

Pahel menghidangkan sepiring nasi goreng di atas meja makannya, setelahnya ia memakannya tanpa mempedulikan Jeslyn yang menunggu jawaban darinya.

***

Entah sudah berapa batang rokok yang dihembuskan oleh pemuda tampan itu, tak terhitung. Dan nampaknya pemuda itu tak peduli, pikirannya berkecabang, otaknya sudah kosong.

Merindukan sosok Mommy nya adalah hal yang tak bisa ia hindarkan, ia mengambil ponsel yang bergetar, terpampang jelas nama seseorang yang sejak tadi ia rindukan. Senyum tipis terpatri diwajah tampannya.

"Hallo mom!" sapa nya girang.

"Hallo jagoan kecil Mama," jawaban diselingi kekehan kecil.

"Kapan pulang?" seolah tak peduli dengan kebebasan untuk orang tuanya di sana, ia sangat merindukan keduanya.

"Lusa kami pulang," itu bukan Mommy nya, itu Daddy nya ---Daren---.

"Gattan ga nanya Daddy," ketusnya meledek, terdengar geraman dipadu dengan suara Mommy-nya yang tertawa.

"Sudah, sudah larut, sampai jumpa lusa! jangan menghubungi saya dahulu!" sakras Daddy Gattan, setelahnya sambungan terputus.

Selalu seperti ini, Daddy nya yang bertingkah absurd, dan Mommy nya yang selalu memanjakannya, ia mengukir senyum tipis. Setidaknya rindunya sudah terobati, walau sedikit.

Entah angin dari mana, ingatan Gattan menuju gadis yang duduk di sebelahnya saat di sekolah, Pahelsca. Menurutnya, Pahel terlalu pendiam atau bahkan tak peduli sekitar, sangat langka. Jika perempuan pada umumnya pecicilan, suka teriak-teriak, bergosip ria, tapi tidak dengan Pahel. Aneh tapi nyata.

Gadis misterius, suka menyendiri, atau bahkan menyimpan beban yang tak pernah ia umbar, begitu menyakitkan melihat gadis itu menangis di toilet tadi.

Gattan menggeleng guna menghilangkan pikiran tak pentingnya. Tak penting? iya menurut otak Gattan tak penting, tapi entah jika menurut hatinya.

Ia beranjak dari duduknya dan menuju tempat tidur king size miliknya, bersiap tertidur untuk memulai hari esok.

Fyi, Gattan bukanlah badboy seperti kebanyakan orang, bukan juga goodboy kesayangan guru. Gattan tetaplah Gattan, dengan segala sifat anehnya, rusuhnya, dan pendiamnya.

Walaupun sering membolos, tapi ia tak pernah ikut tawuran, atau bahkan ribut dengan sekolah lain, ia tak suka mencari masalah, hidupnya yang lempeng membuat ia betah seperti ini, tak ada yang menarik memang.

Gattan mulai memejamkan matanya, menuju alam mimpinya yang entah akan menayangkan apa, ia tak peduli, yang ia mau, hari cepat berganti sampai kedua orang tuanya pulang.

***

Pahel mengedipkan matanya berkali-kali, ia tertidur di meja makan setelah berbincang-bincang dengan Jeslyn. Pahel meregangkan otot-otot tubuhnya yang serasa kaku, Pahel melirik kesegala arah untuk mencari Jeslyn.

Dan sekarang? Jeslyn hilang entah kemana, huh menyebalkan.

Ia melirik jam dinding yang ada di ruang tamu, masih pukul 5 pagi, tandanya ia terlalu pagi untuk terbangun. Pahel berharap, hari ini segera berlalu sehingga Pahel dapat tertidur dengan pulas dihari libur.

"Jeslyn," panggilan melengking dari Pahel karena tak menemukan Jeslyn.

Ia mengecek ponselnya dan mendapat puluhan notifikasi telpon tak terjawab, dari Siska.

Menghembuskan nafas, ia mulai mengetikkan pesan berupa informasi sedang dimana ia sekarang, setelahnya ia mandi dan bersiap menuju sekolah.

"Anak baru gaboleh males," gumamnya.

Pahel beranjak menuju kamar mandi, menggunakan seragam lengkap dengan atributnya, dan dilanjut duduk di depan cermin. Seketika ia tersenyum menyeringai, ia membuka laci kecil yang ada di depannya, mengambil sesuatu dari laci dan menggoreskan benda itu pada pergelangan tangannya.

"Pahel!" panggilan yang ia nantikan akhirnya datang, dia datang—

"Terimakasih telah bertahan, terimakasih telah menetap, dan terimakasih telah setia❤️" ---unknow.



Chapter ini agak ga jelas, aku juga gatau alur dari chapter ini, semoga dichapter selanjutnya bisa lebih memperjelas yaa😍❤️

Jangan lupa vote+komen.
Follow akun ini, dan Follow Instagram @avr_vee

-ALVER
-DEATH DIARY

Bayangan Kalbu [ TERBIT ] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang