Bab 21

8.7K 705 7
                                    

Bab 21

Setelah bertanya pada seorang perawat dimana ruangan Aldo, aku langsung berlari dengan seluruh tenaga yang masih tersisa. Ketika aku menemukannya, masih ada seorang perawat yang sedang memeriksa peralatan. Tanpa basa-basi aku langsung masuk, suster itu terkejut melihatku. “Aku boleh masuk kan?” tanyaku.

“Tentu saja.” Kata suster itu sambil terus melanjutkan pekerjaannya.

Aku menarik sebuah kursi yang sudah disediakan didalam ruangan Aldo ini, duduk tepat disamping ranjangnya seperti yang dia lakukan waktu aku dirawat. Aku melihat wajahnya yang pucat dan matanya yang terpejam itu. 

“Permisi,” panggilku pada perawat itu, dia menoleh padaku. “Bisa kau mengobatiku?”

Perawat itu menghampiriku dan memeriksa sebentar luka-lukaku, dia tersenyum ramah. “Tunggu sebentar, aku akan mengambil peralatanku dulu.”

“Thanks.”

Perawat itu pergi, tidak lama dia sudah kembali membawa sebuah kotak kecil mirip kotak P3K hanya saja lebih besar. Dia menyuruhku duduk si sofa hitam panjang, masih didalam ruangan Aldo dirawat. “Lukamu cukup banyak.” Katanya sambil membersihkan sebuah gunting dengan alkohol. “Aku akan mengeluarkan beberapa pecahan kaca di tangan dan wajahmu.”

“Ada pecahan kaca di wajahku?” tanyaku kaget.

Perawat itu tersenyum, “Hanya pecahan-pecahan kecil.” Aku memekik kesakitan setiap kali pecahan kacanya diambil. “Apa aku harus memberikan anastesi padamu?”

“Tidak usah.” Jawabku, sambil mengigit bibir bawahmu.

“Kau anak yang manis sekali.” Kata si perawat. “Siapa namamu? Kau bisa memanggilku Airin.”

“Elise, tapi aku lebih suka dipanggil Liz.” kataku.

Aku memerhatikan wajah Airin yang cantik, dia kelihatan masih sangat muda, mungkin tidak lebih dari 25 tahun. Matanya bulat besar dan bulu matanya panjang-panjang, bibirnya kelewat tipis tapi tampak menarik.

“Baiklah Liz. Siswi kelas berapa?” tanyanya.

“Kelas satu.”

Dia mengangguk. “Apa cita-citamu memang menjadi mata-mata?”

Aku terkekeh. “Tidak, tidak pernah terpikirkan olehku sebelumnya.”

“Lalu kenapa kau mendaftar?” tanyanya.

“Sesuatu terjadi.” Aku berhenti, memutuskan tidak bercerita lebih lanjut tentang hal itu.

Mungkin dari nada suaraku Airin tahu aku tidak ingin membahasnya, dia hanya mengangguk mengerti. “Dia gurumu kan?” tanyanya.

“Siapa? Mr. Masen?”

Airin mengangguk. “Dia sangat tampan ya?” katanya, aku melihat semburat merah di pipinya.

“Banyak yang bilang begitu sih.” Jawabku sekenanya.

“Dia pernah datang kesini sekitar beberapa minggu yang lalu karena kakinya terkilir, saat itu aku yang mengobatinya.” Katanya lagi. “Dia tidak banyak bicara.”

“Dia memang orang yang seperti itu.” Kataku, tidak heran lagi.

“Kau beruntung sekali bisa diajar olehnya.” Katanya, tersenyum malu-malu.

“Kurasa begitu.”

“Kuharap dia cepat sembuh.” Katanya.

“Aku juga.”

Airin tampak membereskan peralatannya. “Sudah selesai.” Katanya.

Aku meraba pipiku, ada sebuah plester kecil yang menempel di pipiku. Lengan bagian atasku juga sudah di perban. “Thanks.” Kataku.

Vagsat Academy #1: Just a Good SPY (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang