Bab 35

7.2K 592 39
                                    

Setelah insiden tadi malam, pagi harinya kami bergegas kembali ke Jakarta. Selama perjalan pulang, tidak ada yang lebih mengangguku, bukan luka atau lebam di tubuhku, bukan Bayu yang masih sedikit terguncang, bukan suara ocehan sahabat-sahabatku, melainkan kesunyian yang mencekam yang ditunjukan Aldo. Bahkan begitu kami sampai dirumah, Aldo langsung menuju kamarnya.

Situasi mulai mencekam saat matahari mulai tenggelam, Asyira mengambil alih situasi karena Aldo belum keluar dari kamarnya. Noah diharuskan menginap malam ini atas perintah Asyira, kami membutuhkan pengawasan lebih untukku dan Bayu. Walaupun sudah kukatakan berkali-kali untuk tidak perlu melakukan hal ini, tapi Asyira memaksa dan didukung yang lainnya.

Noah dan Ginny memeriksa perimeter untuk yang kedua kalinya, karena rumah Aldo cukup terbuka dan luas. Ruang keluarga disulap sedemikian rupa menjadi tempat tidur kami, lengkap dengan bantal guling, selimut dan kasur apa adanya. Kami memutuskan untuk berjaga secara bergantian, Ginny minta untuk berjaga pertama dan kami semua setuju. Aku masuk kedalam selimut dan tertidur.

Aku terbangun karena terkejut, kaki seseorang menendang kepalaku. Dengan mata perih yang dengan paksa terbuka, kulihat Ginny sudah tertidur dan kakinya tepat diatas bekas kepalaku berada. Ingin kubangunkan Ginny agar pindah, tapi melihat dia yang tertidur dengan nyenyak membuatku tidak tega. Cewek sekuat Ginny ternyata bisa dikalahkan dengan kantuk.

Malam yang sunyi seperti ini membuat suara sekecil apapun dengan mudah terdengar oleh indera pendengaranku, begitu juga dengan suara pintu yang tertutup. Dengan sedikit terlonjat kaget, aku memutar kepalaku kebelakang dan menemukan Aldo, berdiri didepan sebuah pintu. Mata kami langsung bertemu selama beberapa detik, sebelum akhirnya dia melangkah pergi.

Tanpa pikir panjang aku langsung bangkit dan berlari mengejarnya, menarik lengannya dan menahannya pergi. "Kau marah padaku?" tanyaku langsung.

Aldo bergeming, membeku. Aku menunggunya bicara dengan jantung berdegup keras, tapi dia menyentakan tanganku dan melangkah lagi. Tidak menyerah disini, aku menarik kaos belakang Aldo. "Kau marah padaku atau Bayu karena merusak liburannya? Kalau begitu aku minta maaf soal itu, kumohon jangan marah lagi."

Aldo memutar tubuhnya, menghadapku. Ekspresinya jelas terlihat kalau dia marah, matanya membelalak kearahku. "Kau pikir ini semua karena liburan bodoh itu?" dia membentak tapi langsung mengatupkan bibirnya rapat-rapat sambil melirik ke tempat sahabat-sahabatku yang sedang tidur. Dia memulai lagi dengan suara yang lebih pelan tanpa mengurangi kesan marahnya. "Kembalilah tidur sekarang Liz."

"Tidak sampai kau beritahu aku kenapa kau bertingkah aneh." Desakku.

Dia menatapku dalam, benar-benar dalam lalu dia melembut. "Aku hanya tidak bisa melihat wajahmu."

"Kenapa?" tanyaku putus asa.

"Karena mengingatkanku dengan kebodohan yang aku lakukan, kesalahanku. Seharusnya aku tidak mengizinkan kau pergi kemarin, seharusnya aku membawa perlindungan lebih untukmu dan juga Bayu tapi tidak kulakukan. Seandainya kejadian kemarin malam berakhir dengan buruk -lebih buruk dari ini, aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri karena sudah bertindak ceroboh."

Aku tidak pernah melihat sisi Aldo yang ini, sungguh suatu kejutan yang menyayat hati. Ekspresi kesedihan diraut wajahnya seperti sudah terpatri dengan dalam, begitu nyata dan sanggup membuatku sangat sedih.

"Ini bukan kesalahanmu Al, ini salah kita semua." Kataku, mencoba menghiburnya.

"Kumohon jangan katakan itu, semua orang yang tahu kejadian itu tahu kalau itu kesalahanku." Sanggahnya.

"Kau membuat ini semua sulit Al, aku tidak mengerti jalan pikiranmu." Aku menggeleng lemah, "Aku tidak mengerti mengapa kau melakukan ini semua seakan dipundakmu ada beban berat yang tidak bisa kulihat."

Vagsat Academy #1: Just a Good SPY (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang