Bab 22

7.7K 726 26
                                    

Tangan Bayu langsung menggenggam erat tanganku. “Aku tidak mau jauh-jauh dari Liz.”

“Tapi Mr. Stevenson benar Liz, ini demi keselamatan kita semua.” Kata ayahku.

Kepalaku rasanya memanas mendengar ayahku sendiri mendukung Rob, bukannya aku. “Ayah mungkin tidak keberatan, ayah memang sudah terbiasa jauh-jauh dari aku dan Bayu. Tapi yang aku inginkan adalah keluarga kita tetap utuh. Aku sudah cukup jarang bertemu Ayah dan Ibu, jarang sekali. Dan sekarang kalian harus pergi jauh untuk jangka waktu yang tidak diketahui, apa kalian tidak mengerti perasaanku?” aku berteriak, aku menghentak-hentakan kakiku seperti anak kecil.

“Liz, kau harus tenang.” Bisik Bayu.

“Bagaimana aku bisa tenang kalau begini?” balasku teriak. Napasku tersenggal-senggal karena marah sambil berteriak-teriak, sekelilingku rasanya juga jadi lebih hangat.

“Baiklah begini saja.” Kata Bayu, suarnya masih tetap tenang. “Ayah dan Ibu boleh pergi ke Swiss, tapi aku akan tetap tinggal disini. Di negara ini. Di kota ini. Aku akan tetap bersama Liz.”

Aku memandang Bayu tidak percaya dengan keputusannya yang bodoh itu. Aku memukul kepala belakangnya. “Bagaimana bisa kau melepaskan ayah dan ibu seperti itu.”

“Astaga Liz, itu sakit.” Dia mengusap kepala belakangnya dengan sungguh-sungguh. “Ayah dan ibu akan lebih aman kalau berada jauh dari sini, setidaknya mereka akan kesulitan mencari mereka. Dan para penjaga ini atau apalah kalian menyebutnya, akan lebih mudah mengawasi ayah dan ibu saja.”

“Bagaimana denganmu, apa kau tidak takut?” tanyaku.

“Jangan khawatirkan aku, aku ini pernah ikut ekskul pramuka.” Kata Bayu dengan nada percaya dirinya yang kelewatan.

Aku memutar mataku. “Apa hubungannya dengan pramuka?” dia calon dokter tapi masih saja bodoh.

Kami semua memandangi Rob sementara Rob tampak berpikir dan menimbang-nimbang. Entah memang dia ini pintar atau mungkin IQnya yang superior, dia selalu mengambil keputusan dalam waktu yang singkat. “Baiklah aku setuju, tapi dia harus tinggal di dalam Vagsat Academy karena itu tempat teraman untuk saat ini.”

Tentu saja itu tempat teraman, ada lebih dari sepuluh mata-mata handal yang tinggal disitu, puluhan penjaga yang mungkin mengikuti kelas mata-mata juga saat mereka muda, berpuluh-puluh orang jenius, dan lebih dari seratus orang calon mata-mata yang hebat bertarung bahkan hanya menggunakan majalah Vogue. Jadi tidak ada kata-kata lain yang bisa kukatakan selain,  “Aku setuju.”

~~~

Aku turun dari mobil Rob, masuk lewat pintu utama Vagsat Academy. Tanpa memperdulikan tatapan-tatapan bertanya dari para murid yang lainnya, dengan langkah besar dan cepat aku berjalan menuju kamar asramaku. Ketika aku masuk kupikir akan menemukan sahabat-sahabatku di dalam, tapi kamar ini kosong tidak ada penghuninya. Aku melihat arlojiku, pantas saja, ini jam makan siang. Aku masuk kedalam kamar mandi, dan menyalakan showernya. Aku mandi dalam gerak cepat, membersihkan tubuhku seadanya saja. Setidaknya menyingkirkan air liur yang masih menempel di wajahku dan sisa-sisa darah kering yang menempel. Begitu selesai aku langsung mengeringkan tubuhku dengan handuk dan mengambil pakaian pertama yang kulihat, kaos abu-abu gombrong bertuliskan Singapore dan celana pendek hitam. Aku menyisir rambutku sampai benar-benar rapih, menyambar parfum milik Renee dan menyemprotkannya sedikit ketubuhku. Setelah merasa beres dengan keperluanku, aku langsung berlari keluar dari kamar menuju pintu utama Vagsat Academy.

Aku menyebrangi halaman depan Vagsat Academy menuju gerbang utama, tapi gerbangnya masih tertutup. Aku duduk disebuah bangku taman sambil mengatur napasku. Tidak lama kemudian pintu gerbang besar itu terbuka, sebuah mobil yang kukenali masuk ke halaman.

Vagsat Academy #1: Just a Good SPY (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang