Bab 1

20.1K 1.2K 80
                                    

Dibawah teriknya matahari dan pekatnya polusi udara di Jakarta, aku berjalan dengan langkah ringan menuju sekolahku. Aku tidak pernah merasa sebahagia ini pergi kesekolah, tidak pernah selama tiga tahun terakhir. Alasanku satu-satunya untuk bahagia karena aku pergi kesekolah hanya untuk mengambil berkas-berkas kelulusanku. Aku baru saja lulus dari SMP, dan akan segera masuk SMA.

Aku sudah sering menonton film murahan tentang betapa menyenangkannya menjadi anak SMA, dan aku sudah tidak sabar lagi. Aku mempunyai cita-cita yang cukup tinggi, aku ingin jadi seorang dokter. Jadi aku harus bersungguh-sungguh di SMA nanti.

Aku mulai memasuki gedung sekolahku, dan aku yang pertama datang. Ini jarang terjadi, karena biasanya aku selalu terlambat. Hanya butuh beberapa menit untuk mengurus semua berkasnya, dan aku bisa pulang. Aku melihat ijazahku yang bertuliskan namaku: Elise Khairunnisa Irsham.

Rumahku cukup jauh dari sekolah, aku harus naik dua kali angkutan umum dan berjalan sekitar 200 meter memasuki perumahan untuk sampai dirumah. Ayahku orang yang cukup sibuk, dia bekerja disalah satu perusahaan kapal pesiar Jerman dan dia jadi tidak punya waktu hanya untuk mengantarku ke sekolah. Ibuku juga bekerja disalah satu perusahaan kosmetik milik Swedia, dan dia hanya pulang setiap jam 9 malam setiap harinya. Aku juga memiliki seorang kakak laki-laki, Bayu. Dia baru saja berhasil masuk kesalah satu perguruan tinggi jurusan kedokteran, otaknya memang jauh lebih encer dariku tapi aku akan segera menyusulnya nanti.

Angkutan umum pertamaku sudah tiba, dan aku harus masuk berdesak-desakan dengan para penumpang yang lainnya. Di Jakarta kita tidak bisa mengalah begitu saja pada orang lain, bahkan saat kau ingin masuk kedalam angkutan umum. Bus yang aku tumpangi berjalan dengan cepat, dan para penumpang didalamnya bergerak-gerak setiap kali busnya berbelok atau mengerem mendadak. Kali ini aku tidak kedapatan tempat duduk jadi aku harus berdiri. Karena tubuhku tidak terlalu tinggi, aku jadi kesulitan menggapai pegangan yang tergantung diatas bus, aku harus berjinjit. Dan berjinjit selama satu jam sangat melelahkan. Setelah menempuh itu semua, aku masih harus menaiki satu bus lagi, hanya sepuluh menit dan aku sampai didepan komplek perumahanku. Aku berjalan menyusuri jalanan sepi dan besar, disamping kanan dan kiriku hanya terlihat barisan-barisan rumah besar dan mewah. Tetangga-tetanggaku bukanlah semacam tetangga yang baik dan ramah, mereka sombong dan tidak acuh dengan sekelilingnya. Bahkan aku yakin kalau salah satu tetangga rumahnya ada yang kebakaran, mereka akan terus melanjutkan tidur mereka.

Setelah beberapa menit berjalan kaki dengan santai, aku sampai didepan gerbang putih rumahku yang tinggi dan lebar. Rumahku juga tidak terlalu besar dari rumah tetanggaku yang lainnya, dengan model eropa yang disukai ibuku dan taman yang kelewat besar mengelilinginya. Ada tiga minivan terparkir tidak jauh dari pagar rumahku, apa mereka tamu? Tapi kenapa mereka tidak memasukan mobilnya ke garasi rumahku? Terserahlah, aku juga tidak perduli.

Aku menekan bel disamping pagar beberapa kali, tapi tidak ada yang datang untuk membukakan gerbangnya. Sangat menyusahkan. Aku membuka gerbang yang berat itu dengan kedua tanganku sendiri, mendorongnya sedikit hanya agar tubuhku bisa masuk.

Lalu aku segera menyadari ada yang salah disini, satpam penjaga rumahku tidak pernah meninggalkan posnya selama ini, tapi sekarang posnya kosong. Aku melihat jam tanganku, masih jam 10 pagi. Biasanya jam segini tukang kebunku masih merapikan taman, tapi kali ini dia tidak ada. Kemana perginya mereka semua?

Aku berjalan menuju pintu rumahku, pintunya terbuka dengan sedikit celah. Mungkin para pembantuku lupa mengunci pintu, tapi aku tidak melihat satupun dari mereka berkeliaran disekitar rumah. Ada sesuatu yang tidak beres disini, dan suara dikepalaku terus saja melarangku untuk masuk dan menyuruhku pergi saja, tapi aku tahu apa yang terjadi. Jadi aku melangkahkan kakiku masuk, dengan perasaan tegang aku berjalan keruang tengah tempat aku terbiasa berkaroke sendirian atau dengan Bayu kalau dia tidak sedang sibuk belajar. Dan pemandangan yang disuguhkan didepan mataku sungguh sangat mengerikan, para pekerja dirumahku tergeletak dilantai dengan darah menggenang disekeliling mereka. Aku mual, aku ingin muntah, tapi yang kulakukan malah menjerit. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, otakku berhenti bekerja dan kakiku lemas. Tapi terdengar suara gaduh dari lantai dua, dan suara langkah-langkah kaki yang berlarian. Dan sekarang aku sadar, penjahatnya masih ada disini.

Vagsat Academy #1: Just a Good SPY (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang