Kami menaiki lift menuju lantai satu tempat dimana ruang makan berada, yang menurut peraturan liftnya hanya boleh dipakai pada hari Sabtu dan Minggu saja. Didalam lift, ada empat cowok dan tujuh cewek. Lift jadi penuh sesak. Belum lagi cowok-cowok ini berbadan besar dan tinggi, dan yang cewek-cewek sangat berisik.
Kami melewati lorong di sayap timur untuk bisa ke ruang makan. Suara riuh samar-samar terdengar, begitu kami melewati pintunya, terlihat pemandangan yang sangat ramai. Kursi-kursinya penuh dengan para siswa dari kelas sepuluh, sebelas dan dua belas. Dan dimeja makannya sendiri penuh dengan hidangan yang sanggup membuat liurmu menetes.
Ginny melambai-lambaikan tangannya pada kami, memberi petunjuk dimana kami harus duduk.
Aku duduk disebelah Renee, disebelahku yang lainnya duduk seorang cowok yang sibuk mengunyah ayam panggangnya.
Dengan mulut penuh, Ginny menunjuk seseorang dari seberang meja kami. Aku berbalik untuk melihat siapa itu, dan kalau penglihatanku benar, Ginny menunjuk seorng cewek cantik berambut pirang keemasan, dengan mata hijau, dan kulit putih dan bibir merah menggoda.
"Biar kutebak, Sam?" Tebakku.
Dan Ginny mengangguk membenarkan.
Sam duduk dikelilingi cewek-cewek sebagai dayang-dayangnya, yang sialnya juga sangat cantik. Para cowok yang duduk di barisan meja yang sama, mencoba mencuri-curi pandang dengannya, bahkan beberapa yang merasa cukup tampan berani menggodanya.
"Aku membencinya." Kata Ginny, mendengus kesal.
Aku mengambil satu potong paha ayam panggang dan setumpuk kentang tumbuk. "Selama dia tidak membuat masalah dengan kita, kurasa kita bisa berdamai dengannya."
"Dia akan berusaha mencari masalah Liz, liat saja nanti." Kata Ginny.
Aku tertawa melihat Ginny yang kesal dan mulut penuhnya, sehingga menjatuhkan gelas berisi air. Kupikir itu gelasku, nyatanya bukan.
"Sial." Kataku, sambil membenarkan letak gelas milik cowok disebelahku. Dan aku melihat air itu juga mengenai seragamnya, double sial. "Maafkan aku." Kataku, sambil berusaha membersihkan air yang menggenang di meja dengan tissue.
Cowok itu malah tertawa. "Tidak apa, ini hanya air."
"Tidak sungguh, maaf." Kataku, yang masih saja mencoba membersihkan air yang berantakan di meja. Bahkan aku sempat berpikir untuk mengeringkan baju cowok itu, tapi sepertinya terlalu berlebihan.
"Dasar ceroboh." Terdengar suara Renee samar-samar disampingku.
Tangan cowok itu mencengkram tanganku dan mengambil tissue yang ada di tanganku. "Sudah, tidak apa."
Untuk pertama kalinya, aku melihat wajah cowok itu dengan seksama. Wajahnya tampan tentu saja, kulitnya putih bersih dengan bibir yang penuh, mata yang bulat dengan manik mata berwarna coklat keemasan.
Dia menjulurkan tangannya, "Noah." Katanya dengan senyumnya yang tampak hangat.
"Elise, panggil saja Liz." Kataku, menjabat balik tangannya yang hangat dengan tanganku yang basah.
Aku tidak tahu harus bicara apa lagi dengannya, jadi aku hanya tersenyum dan mengatakan "Maaf." Untuk yang terakhir kali lalu berbalik dan memunggunginya.
"Cepat juga Liz." Kata Megan.
"Cepat?" Tanyaku bingung.
"Hari pertama dan kau sudah mendapatkan cowok imut." Bisik Megan dari seberang kursiku.
"Aku tidak mendapatkannya. Membuatnya jengkel iya." Kataku, membuang napas lemah.
"Siapa namanya?" Tanya Renee.
KAMU SEDANG MEMBACA
Vagsat Academy #1: Just a Good SPY (TAMAT)
Aksiyon[Beberapa bagian di PRIVATE] Katanya takdir akan membawamu? Tapi bagaimana kalau kau ditakdirkan menjadi seorang mata-mata? Mendadak kehidupan Elise yang tenang berubah drastis, saat keluarganya berada ditengah-tengah bahaya. Elise memutuskan menjad...