Bab 31

7.4K 660 19
                                    

Rasa kasur yang empuk ini membuat tulang punggungku jadi lebih baik. Orang yang menyelamatkanku terlihat sedang mondar-mandir di ruangan ini, dia seperti mencari sesuatu. Suasana kamar yang remang-remang mempersulit pandanganku.

Aku mencoba untuk bangun, setidaknya duduk. Saat perutku tertekuk, aku merintih karena rasa perihnya. Orang itu mendengar rintihan nyaringku dan langsung menghampiri.

“Kenapa kau bangun?” tanyanya, dengan sedikit membentak. Aku ingin membentaknya balik, dia beruntung karena aku masih lemah.

Samar-samar indera pendengaranku mulai kembali, terdengar suara beling saling berbenturan kecil manjadi latar musik disini. Semua inderaku mulai kembali berfungsi, perlahan-lahan rasa kebas itu hilang.

Mataku mulai bisa mengenali benda-benda di sekelilingku. Ini kamar, ada meja belajar dan laptop diatasnya, kursi putar, lemari pakaian, baju-baju yang digantung di belakang pintu. Ini kamar Aldo, dengan lampu temaramnya. Dan di hadapanku, duduk si pemilik kamar.

“Perut sakit, leherku juga.” Aduku seperti anak kecil, suaraku masih terdengar lemah dan samar.

“Aku tahu, seharusnya kau di bawa keruang perawatan sekarang Liz!”

Lagi-lagi dia membentak, dia menatapku penuh amarah. Urat-urat di lehernya nampak tertarik, raut wajahnya keras, dingin. Kali ini aku benar-benar takut memandang wajahnya, jadi aku berpaling.

“Sahabat-sahabatku, aku tidak ingin...”

Mereka ingin melindungiku tapi aku melanggar semua peraturan yang mereka buat. Dan kalau mereka tahu apa yang terjadi sekarang, mereka akan marah dan merasa terbebani olehku. Ditambah lagi, Ginny pasti akan mulai berkelahi lagi dengan Sam. Aku tidak mau menambah masalahnya. Jadi, akan lebih baik kalau mereka tidak tahu.

Matanya menerawang keseluruh tubuhku, melihatku dengan intens dari kepala sampai kaki. Aldo menggertakkan giginya dan mengumpat pelan.

“Lakukan saja.”  Kataku.

Aldo meletakan beberapa botol kaca ke atas ranjangnya, tepat di samping lenganku. Dia mulai menaikan bajuku keatas, memperlihatkan perutku yang penuh darah. Ketika tangannya menyentuh kulit perutku, tangannya terasa dingin sekali.

Saat air di dalam botol itu tumpah dan mengalir di permukaan perutku, rasa dingin dan perih yang sangat mulai menyerangku. Perutku seperti di tusuk ratusan kali oleh jarum-jarum kecil. Aku menahan teriakanku dengan mengatupkan bibirku rapat-rapat, tanganku mengepal begitu keras sampai kukuku menyakiti telapak tanganku sendiri.

“Ya Tuhan!” geramku tertahan. Aldo memegangi tanganku yang sudah memukul-mukul kasur, menahanku agar tidak bergerak lagi. Aku menggeram, “Lanjutkan.” Kataku saat rasa perihnya perlahan memudar.

Aldo manatapku sepersekian detik sebelum melanjutkan apa yang seharusnya dia lakukan. Kali ini dia meneteskan sebuah cairan berwarna kemerhan di sebuah kapas, pelan-pelan dia menempelkan kapas itu ke luka memanjang di perutku.

“Apa perlu dijahit?” tanyaku takut-takut.

Aldo menggeleng pelan. Dia hanya memperban luka di perutku dengan perban putih banyak. Aldo meletakan perekatnya dengan berantakan, menambal di mana-mana. Walau begitu, setidaknya lukaku ini sudah tertutup.

Dia mendudukanku perlahan, menahan tengkukku dengan tangan kirinya. Aldo mendekatkan wajahnya ke leherku, begitu dekat sampai aku bisa merasakan hembusan napasnya yang hangat. Jantung lagi-lagi berdegup lebih cepat.

“Apa parah?”

Aldo tidak menjawab.

Jemari Aldo terasa menyusuri garis-garis leherku, membuatku kegelian. Dia mengobatiku dalam diam, walau sesekali kulihat dia ikut meringis setiap kali aku menggerang kesakitan. Dia masih saja kelihatan marah, jemarinya mencengkram botol obat itu terlalu keras sampai aku takut dia bisa memecahkannya sekarang.

Vagsat Academy #1: Just a Good SPY (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang