Seminggu sudah Vanya terbaring lemah di brangkar rumah sakit, dan selama itu pula Vanya tak mengunjungi sekolah.
Sore ini Aldi dan Alia sepakat akan mengunjungi Vanya ke rumah sakit, karna merasa tak enak. Di saat semua sudah melihat Vanya sisa mereka berdua yg belum melihat keadaan Vanya.
"Aldi nanti jam berapa?" Tanya Alia.
"Sesudah gw basket, nggak lama kok" jawab Aldi.
Alia hanya ber 'oh' ria, lalu melanjutkan langkah nya menuju kantin. Belum juga Alia masuk ke kantin, jalannya sudah di halang oleh Alfian.
"Alia, emng Vanya masuk rumah sakit?" Tanya Alfian.
"Iya kak" sopan Alia.
"Jam besuk kapan aja?" Tanya Alfian sekali lagi.
"Kalo siang jam 10:00 sampai jam 13:00 kalau sore jam 17:00 sampai jam 19:00" jelas Alia.
"Oke makasih" jawab Alfian lalu pergi.
***
Sampai saat ini belum ada tanda-tanda Vanya akan siuman, mungkin Vanya masih mau di dalam mimpi? Entah tidak ada yg tau.
Saat ini di ruangan sudah ada Mauren, Nathan dan Anton, keheningan yg mengisi mereka semua. Anton yg sibuk dengan pekerjaannya, Mauren yg tertidur, dan Nathan yg berkutat dengan ponselnya.
"Permisi dokter" ucap dokter Ilham.
"Masuk" suruh Nathan.
Dokter Ilham pun memeriksa keadaan Vanya, apakah jantungnya masih berdetak? Apakah Vanya masih bisa melihat dunia?
Entah, itu semua sudah di garisi oleh tuhan. Yg tak bisa di paksa, dan tidak bisa melarang.
"Keadaan Vanya masih sama, mungkin dalam satu bulan kedepan ia baru bisa sadar" ujar dokter Ilham.
Tok...tokk....tok..
Suara ketukan itu menggema ke seluruh ruangan, Nathan pun bangun lalu membuka pintu. Di sana sudah ada 4 orang, Nathan pun mempersilahkan masuk mereka semua.
Tak ada yg membuka suara, keheningan yg menyapa mereka. Hingga patient monitor bunyi tanpa jeda sedikit pun, semua yg ada di ruangan hanya bisa menangis tanpa henti.
"Vanya.. Vanya udh nggak sayang sama mama? Hiks.. bangun Vanya.. mama nggak mau kamu ninggalin mama hikss" ujar Mauren dengan isak tangisnya.
"Vanya.. lo nggak mau liat kita semua nangis kan? Hiks.. bangun, gw mohon Vanya hikss... nanti siapa yg temenin gw hikss" lanjut Debora dengan isak tangisnya.
Dokter Ilham dan beberapa perawat pun meminta agar yg berada di ruangan, keluar sekarang juga.
Anton? Peduli? Tak ada dalam kamusnya dia peduli dengan anak yg kurang ajar, kurang berpendidikan. Tak ada kamusnya ia mengakui bahwa Vanya adalah anak nya, itu semua tidak akan mungkin terjadi di dunia ini.
"Kenapa kau diam Anton? Anak mu sudah di ambang hidup dan mati!" Bentak Mauren.
"Apa peduli ku hah? APA PEDULI KU!" Bentak Anton.
"Ma, pa udh, ini rumah sakit dan Vanya nggak akan mau ini terjadi" ujar Debora menengahi.
Isak tangis memenuhi koridor kamar Vanya, mereka semua sedang terlarut dalam kesedihan kecuali Anton. Keluar air mata saja tidak, mata nya berkaca-kaca? Ohh itu tidak mungkin.
KAMU SEDANG MEMBACA
VANYA [COMPLETED]
Teen Fiction[Follow sebelum membaca] hidup dengan kekayaan tidak membuat Vanya bahagia, ia rela di tuntut bahkan sering masuk berita karna kesalahan kecil. ayahnya pun sudah tak perduli lagi dengannya, akibat kejadian empat tahun lalu membuat Vanya di anggap ta...