Little Devil vs Dark Devil
"Velyan Dirgantara!" Zelo tampak sangat marah setelah mendengar cerita, uh, pikiran Leo tentang kejadian di kantor Leo tadi.
Setelah insiden di kantor Leo tadi, Leo langsung mengantar Vely pulang. Bahkan, dia juga menghubungi Valent yang sekarang juga ada di sana.
"Pa, aku bukan anak kecil lagi. Aku bisa jaga diriku sendiri. Lagian, aku mau kasih orang itu pelajaran. Enak aja dia sembarangan mau ngerebut Dirgantara lewat aku," dengus Vely.
"Kalau memang itu yang mau dia lakuin, Papa yang akan berurusan sama dia. Bukan kamu," tegas papanya.
Vely merengut protes. "Aku yang akan urus itu," ia berkeras.
"Kamu nggak seharusnya jauh-jauh dari kakak-kakakmu, Vely." Zelo menyipitkan mata.
"Karena Kak Valent sama Kak Alex diam-diam ngelindungin pikiranku, kan?" desis Vely sebal. "Bahkan Kak Alex nggak pernah ngomong apa pun ke aku. Pengkhianat."
"Vely, itu ..."
"Kalau menurut Papa itu cara buat ngelindungin aku, Papa salah," potong Vely tegas.
"Dulu waktu SMP, kamu sering sedih karena dengar pikiran teman-temanmu," sebut Zelo.
Vely memutar mata. "Dulu karena aku masih SMP. Sekarang aku udah 24 tahun, Pa!"
"Selama Papa masih hidup, nggak ada yang berubah buat Papa," balas papanya.
"Papa tuh nggak masuk akal, tahu nggak?" tuding Vely.
"Vely," tegur Leo pelan.
Vely memutar mata. "Selama ini kalian selalu memperlakukan aku kayak anak kecil, makanya aku ..."
"Kamu memang masih kecil, Vel," sela Valent dengan nada geli. Kakaknya itu tampak terhibur. "Tapi, keren juga kamu berani nyiram Devon kayak gitu."
"Devon itu orang yang berbahaya, Vely," singgung papanya.
"Dia nggak akan berani macam-macam sama aku, Pa. Papa lihat sendiri dia diam aja meski aku nyiram air ke mukanya gitu," ucap Vely, setengahnya bangga.
"Bangga?" Valent mendengus geli. "Mama pasti shock kalau tahu."
"Banyak hal yang kamu belum tahu tentang orang-orang di luar sana, Vel. Selama ini, Papa, Valent, sama Alex berusaha keras ngelindungin pikiranmu. Karena itu ..."
"Karena itu, aku akan baik-baik aja, kan?" Vely tersenyum pada papanya. "Setelah aku puas main-main sama si Devon itu, aku akan masuk ke Dirgantara. Atau, kalau Papa mau aku di rumah aja nemenin Mama, aku nggak akan ngebantah. Tapi, kasih aku kesempatan buat bebas kali ini aja." Vely memasang tampang memelas terbaiknya.
"Cuma kamu yang masuk ke perusahaan buat main-main, Vel." Valent geleng-geleng kepala.
"Boleh ya, Pa?" Vely mendekat dan merangkul lengan papanya, menggelayut manja. "Nanti kalau ada apa-apa, aku akan langsung panggil Papa. Janji."
Zelo menghela napas. "Kamu janji, kamu akan keluar dari kantor itu kalau kamu udah puas main-main."
Vely mengangguk kuat. "Janji."
"Setelah itu, jangan pernah lagi berhubungan sama Devon. Papa nggak suka dia," ucap Zelo penuh peringatan.
Vely kembali mengangguk. "Ngapain juga aku berhubungan sama orang kayak gitu? Papa nggak perlu khawatir tentang itu." Vely tersenyum meyakinkan papanya.
Zelo menghela napas. "Papa akan kirim orang buat jagain kamu."
Vely mengerang protes.
"Nggak kurang dari itu, Vely." Zelo menatapnya tajam.
Vely akhirnya mengalah dan mengangguk. "Oke. Tapi, jangan sampai ketahuan Devon."
Zelo mendengus menahan kesal. "Kalau kamu tahu betapa sayangnya Papa sama kamu, kamu nggak akan ngelakuin ini ke Papa."
"Aku tahu, Pa, aku bisa lihat sendiri betapa Papa sayaaang banget sama aku. Aku juga sayaaang banget sama Papa. Makasih, Pa." Vely mencium pipi papanya sebelum menoleh pada Valent. "Dan mulai sekarang, Kakak jangan ganggu-ganggu aku lagi."
Valent menggeleng. "Aku akan menikmati menonton penderitaan Devon Alvaro yang malang."
Kali ini, Vely setuju dengan kakaknya itu.
***
"Mulai besok, aku punya asisten pribadi baru. Tapi, kamu harus memperlakukan dia dengan baik," beritahu Devon pada Arya, asistennya, ketika Arya ke ruangannya sore itu.
"Baik, Pak," jawab Arya patuh.
"Malam ini, kamu kirim semua informasi yang bisa kamu dapat tentang Velyan Dirgantara," perintah Devon.
"Baik, Pak." Jawaban yang sama.
"Mandor yang kemarin protes gimana? Dia masih minta tambahan biaya buat pekerja yang kecelakaan di proyek itu?" Devon memastikan.
"Saya masih berusaha berbicara lagi dengannya, Pak."
"Nggak perlu," tolak Devon. "Ganti dia. Dan ganti juga semua pekerjanya."
Arya tampak terkejut. "Tapi, Pak ..."
"Aku ngasih kamu perintah, bukan ngajak kamu ngobrol, apalagi minta pendapat. Jadi, jangan ngomong apa pun lagi dan lakuin sesuai perintahku," ucap Devon tajam.
Arya menunduk.
"Ingat, kamu aku bayar buat ikutin perintahku," kata Devon dingin. "Jangan lupa, ibumu masih koma di rumah sakit, bertahan hidup dengan bantuan mesin yang bisa dengan mudah aku ambil. Dengan kata lain, nyawa ibumu ada di tanganku. Jangan pernah berusaha mendebatku lagi."
Arya mengangguk. "Baik, Pak. Saya akan mengganti mandor dan semua pekerja proyek itu."
Devon mengangguk puas mendengarnya. Lebih dari apa pun, Devon tak suka dibantah.
***
Dengan diantar Arya yang mengaku sebagai sekretaris Devon, Vely masuk ke ruang kantor Devon. Devon yang sudah menunggu Vely, langsung menyambutnya dengan ramah.
"Selamat datang di perusahaanku. Sebagai asisten pribadiku, nggak banyak yang perlu kamu lakuin. Oh, dan kamu bisa bersikap dan bicara santai ke aku. Anggap aja kita berteman sekarang, oke?" Devon tersenyum.
'Dengan begitu, akan lebih mudah buat aku dekatin kamu.'
Vely nyaris memutar mata mendengar pikiran pria itu, tapi ia berhasil tersenyum. "Terima kasih, Pak, tapi saya kan, karyawan Bapak."
Devon menggeleng. "Kamu nggak perlu bersikap begitu resmi ke aku. Santai aja." Pria itu tersenyum. "Dan untuk ruang kerjamu, karena kamu asisten pribadiku, kita akan berbagi ruangan."
'Dengan begitu, kita akan semakin dekat.'
Pria ini beruntung tidak ada air di sekitar mereka atau Vely sudah akan menyiram wajahnya lagi. Pria gila.
"Untuk tugasmu yang lain, nanti Arya yang akan menjelaskannya." Devon lagi-lagi tersenyum pada Vely.
'Selamat datang di hidupku, Velyan Dirgantara. Aku akan menjadikanmu milikku, bagaimanapun caranya.'
Oh, pria ini tidak tahu dengan siapa dia berhadapan. Selamat datang juga di kehidupan yang tak akan pernah tenang lagi setelah ini, Tuan Devon Alvaro.
"Jadi, untuk tugasmu setiap hari adalah menjemput Pak Devon setiap pagi di rumahnya, lalu menemaninya ke mana pun selama seharian, dan mengantarnya pulang," terang Arya.
"Saya benar-benar diterima bekerja di sini sebagai asisten pribadi, kan? Bukan sebagai sopir?" Vely meringis. "Kenapa tugas saya hanya mengantar-jemput?" Vely menatap Devon.
Devon berdehem. "Siapa bilang tugasmu hanya mengantar-jemput? Kamu harus menemaniku ke mana pun selama seharian."
Oh, Vely bersumpah dalam hati, ia akan membuat Devon menyesal untuk keputusannya ini. Pria itu baru saja mengundang masalah untuk mengikutinya ke mana pun selama seharian penuh.
Seperti kata Valent, Devon Alvaro yang malang.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
The Crazy CEO (Crazy Series #1) (End)
RomanceTerlahir sebagai bungsu Dirgantara, tak ada satu pria pun yang cukup berani untuk mendekati Vely. Mengingat keluarganya yang begitu overprotektif padanya. Sampai Devon muncul. Devon akan melakukan apa pun untuk menguasai perusahaan peninggalan pap...