Bab 5 - Mengejar Hati Sang Putri

1.5K 167 34
                                    

Mengejar Hati Sang Putri

Sejak Vely duduk di meja kerjanya yang terletak di pojok ruangan, hanya berjarak tak sampai tiga meter dari meja Devon, pria begitu fokus membaca berkas yang tadi dibawa Arya. Namun, Vely tahu isi kepala pria itu sama sekali bukan tentang berkas di mejanya. Melainkan, Vely.

Mulai dari makanan kesukaan Vely, hingga film kesukaannya. Pria itu benar-benar bekerja keras untuk mendapatkan Vely. Dengan sia-sia. Valent pasti akan sangat terhibur jika melihat ini.

Setelah hanya satu jam duduk di kursinya, Vely mulai bosan juga. Terlebih, sedari tadi ia terus mengikuti pikiran Devon yang sangat tidak kreatif. Jelas pria itu tidak pernah jatuh cinta, tidak pernah punya kekasih, bahkan mungkin, tidak tahu apa itu cinta.

Setiap hari, Vely melihat pikiran orang tuanya yang begitu romantis dan manis pada satu sama lain. Pikiran Devon tidak mendekati itu sama sekali. Bisa-bisanya pria itu berpikir tentang memberi Vely makan pizza pagi, siang, dan malam, hanya karena itu adalah salah satu makanan kesukaan Vely.

Tak hanya itu, dia berencana membawa Vely menonton semua film yang disukai Vely di rumahnya. Setiap malam. Dia akan membuat Vely lembur untuk menonton film dengannya. Pria gila itu benar-benar ...

"Vely."

Panggilan itu begitu dekat, membuat Vely sampai terlonjak kaget. Ia menoleh dan mendapati Devon sudah berdiri di sebelahnya.

"Ya, Pak?" Vely berdiri dengan cepat. Saking asyiknya menghujat Devon, ia sampai kehilangan fokus pada pikiran pria itu. "Ada yang bisa saya bantu?"

Devon menggeleng. "Nggak, kok. Aku cuma mau ngasih tahu kamu, aku mau pergi ke kamar mandi dulu."

Vely mengerjap kaget. "Itu ... apa saya harus menemani Bapak ke kamar mandi juga?"

Devon menggeleng panik. "Nggak, bukan itu maksudku. Aku cuma ngasih tahu, kalau-kalau kamu nanti nyari aku."

Vely tersenyun canggung. Pria itu bukan anak TK. Untuk apa dia memberitahu Vely hanya karena dia pergi ke kamar mandi?

Itu belum akhirnya. Di kamar mandi, pria itu sibuk mendandani rambut tembaganya dengan segala macam model untuk menyesuaikannya dengan style yang menurutnya adalah kesukaan Vely. Lumayan menghibur juga melihat pria itu melakukan hal bodoh seperti itu.

"Laki-laki favorit Vely itu papanya. Hm, aku belum pernah bertemu Zelo Dirgantara. Bagaimana dia menata rambutnya?" Devon berbicara sendiri di depan cermin, membuat Vely tak dapat menahan tawa.

Pria itu ingin menjadi seperti papa Vely? Seolah dia bisa. Sampai mati pun tak akan bisa. Tak ada yang bisa menjadi seperti papanya. Papanya terlalu keren untuk bisa ditiru siapa pun. Devon yang malang.

***

Ketika Devon keluar dari kamar mandi di ruang kantornya, dilihatnya Vely melongo mentapnya. Devon bersandar di pintu sambil menyisir rambut dengan tangannya, memasang pose sekeren mungkin.

"Pak, sebaiknya Bapak pergi ke salon," ucap Vely tiba-tiba.

Devon mengerutkan kening. "Kenapa? Kamu mau ke salon?"

Vely menggeleng, lalu menunjuk rambut Devon. "Rambut Bapak kelihatan seperti ... sarang burung?" Vely kemudian menggeleng lagi. "Oh, nggak, nggak. Lebih mirip benang kusut. Ah, nggak juga. Kayaknya lebih mirip keset yang udah usang dan nggak pernah dicuci."

Sarang burung? Benang kusut? Keset usang yang tidak pernah dicuci?

Bisa-bisanya gadis itu mengatakan itu dengan ekspresi polos itu, padahal Devon berusaha keras menata rambutnya selama setidaknya lima belas menit di kamar mandi tadi. Jika gadis itu bukan Velyan Dirgantara, sudah Devon pecat dan kirim dia ke Antartika. Dasar Bocah Kurang Ajar!

"Oh, atau Bapak mau saya bantu?" tawar Vely antusias.

Devon waspada. "Bantu buat apa?"

"Itu, nata rambut Bapak. Biar keren."

"Kamu ... bisa?" Devon mulai takut.

Vely mengangguk. "Nanti saya bikin rambut Bapak kayak model yang sekarang lagi trend itu, Pak."

Devon berpikir cepat. Model yang sedang trend sekarang itu seperti apa?

"Sebentar, biar saya minta Arya buat siapin bahan-bahannya dulu." Vely langsung berdiri dan pergi tanpa menunggu persetujuan Devon.

Devon ingin menolak, tapi takut gadis itu kecewa. Ia sedang berusaha membuat gadis itu terkesan, berusaha merebut hatinya. Untuk saat ini, sepertinya ia hanya akan menuruti gadis itu.

Ketika Vely kembali, gadis itu mengumumkan dengan riang, "Sebentar ya, Pak, Arya masih beli bahan-bahannya."

Bahan-bahan. Kata-kata itu terdengar seperti bahan untuk memasak, membangun rumah, atau semacamnya. Apa yang akan gadis itu lakukan dengan rambutnya? Apa sebaiknya Devon meminta gadis itu membotaki rambutnya saja?

Vely yang tiba-tiba tertawa membuat Devon menoleh kaget.

"Ke-kenapa?" tanya Devon.

Vely menggeleng. "Saya senang aja bayangin saya bisa bantu Bapak. Akhirnya saya benar-benar kerja."

Devon hanya manggut-manggut, meski dalam hati ia berharap gadis itu tak melakukan apa pun. Devon akan sangat terbantu jika gadis itu tidak bekerja sekeras ini dan hanya duduk diam di tempatnya. Lebih terbantu lagi jika gadis itu jatuh cinta padanya, tergila-gila padanya, setengah mati mencintainya.

Namun, harap tinggallah harap ketika Arya akhirnya masuk ke ruangan Devon dengan membawa sekantong plastik penuh dengan botol-botol spray.

"Itu ... apa?" Devon tak bisa untuk tidak curiga.

"Cat rambut spray," jawab Vely santai. "Lebih praktis buat ngecat rambut. Mudah dicuci juga. Tinggal shampoan aja bisa hilang."

"Cat rambut?" Devon melotot.

Vely mengangguk. "Kan, biar rambut Bapak makin keren, kayak yang lagi trend sekarang." Vely tersenyum.

Tidak. Devon sungguh ingin menolak. Namun, senyum gadis itu membuatnya tak bisa melawan. Saat ini, bahkan meski Vely benar-benar membotaki kepalanya, Devon harus tersenyum dan berterima kasih dengan bahagia pada gadis itu.

Hanya sampai gadis itu jatuh cinta padanya. Hanya sampai Devon mendapatkan Dirgantara. Ia harus bertahan sampai hari itu tiba.

Maka, ketika Vely mengambil satu kaleng cat rambut spray, Devon hanya bisa pasrah. Pun, ketika gadis itu memintanya duduk di kursi kerjanya. Devon menurut dan melakukan semua yang diminta gadis itu.

"Kalau aku boleh tahu, apa warna cat yang kamu pegang itu?" tanya Devon. Setidaknya, ia harus menyiapkan diri.

"Hijau. Hijau terang seperti bola tenis."

Jawaban Vely membuat Devon memejamkan mata. Tidak apa-apa. Demi mendapatkan Velyan Dirgantara, Devon rela kepalanya dijadikan bola tenis.

"Sebenarnya rambut Bapak udah bagus, warna tembaga gini. Tapi, ini old, Pak," kata Vely di belakangnya.

Perlukah gadis itu menghina rambutnya sebelum menghancurkannya?

"Saya akan bikin rambut Bapak jadi sekeren anak-anak muda sekarang, Pak," ucap Vely riang.

Ya, ya. Vely bisa melakukan apa pun yang dia inginkan, Devon tak akan melawannya. Demi mendapatkan hati Sang Putri, biarlah Pangeran ini bertransformasi menjadi bola tenis. Di dongeng-dongeng, kodok akan berubah menjadi pangeran jika bertemu sang Putri, tapi di dunia Devon, ia malah menjadi bola tenis setelah bertemu sang Putri.

Demi perusahaan, demi Dirgantara, demi Velyan Dirgantara, Devon siap menjadi apa pun.

***

The Crazy CEO (Crazy Series #1) (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang