Shalima membuka jendela kamar lebar-lebar. Udara dingin langsung masuk dan membelai pipinya dengan lembut. Di luar masih gelap, tapi tetap saja keindahan pagi mampu membuai Shalima dalam lamunan tak berujung.
Syahdu, hanya suara kokok ayam di kejauhan serta jangkrik jantan terkikik girang karena sedang bercumbu dengan betina di balik rerumputan. Semua berkonspirasi dalam menghiasi teater alam di pagi ini.
Mata cokelat jernih wanita itu berganti menatap langit hitam bertabur ribuan lampu alam. Bibirnya setia menyenandungkan zikir. Memuji Allah tiada henti. Wajahnya menengadah, lalu tersenyum indah. Ada ribuan gemintang berkelip cantik di atas sana.
Mendiang ibunya pernah berkata, gemintang itu adalah malaikat yang sedang menyaksikan makhluk bumi beribadah kepada Sang Penguasa Langit dan Bumi. Mereka akan mengaminkan setiap doa dan meminta kepada Allah agar segera mengabulkannya.
Shalima menghirup udara dalam-dalam, dan mengembuskannya dengan pelan. Paru-parunya terasa bersih seketika.
"Ya Allah, bersaksi bintang dan seluruh alam di pagi ini, aku mensyukuri nikmat yang Engkau berikan. Aku mencintai keluarga kecil yang Engkau anugerahkan. Semoga aku tetap kuat mempertahankan laju perahu kecil ini hingga berlabuh di surga-Mu. Aku belum tahu bagaimana akhir kisah dari semua ini, tapi aku selalu percaya pada takdir-Mu, Ya Rabb," doanya.
Angin sejuk berembus agak kencang hingga membuat wanita ini menggigil. Namun, matanya masih betah menatap ke luar dengan tubuh berbalut mukena putih. Pemberian suaminya saat akad nikah yang digunakan ketika shalat Tahajud tadi.
Sebelum azan Subuh berkumandang, Shalima masih ingin berlama-lama menikmati udara bersih sembari melantunkan zikir pagi. Kapan lagi waktu tenang tanpa gangguan kebisingan Jakarta bisa dinikmati selain sebelum Subuh begini?
"Ngapain di situ?" Sebuah suara menegur Shalima.
Pria bertubuh kekar dengan tinggi seratus delapan puluh senti tiba-tiba muncul dan berdiri di belakang Shalima. Matanya menatap tajam kedua pundak wanita itu. Wajahnya basah. Baju takwa yang dikenakan pun tampak basah oleh air di bagian lengan dan kerah.
"Abang udah bangun?" sapa Shalima riang. "Tadi, Shalima sengaja nggak bangunin Abang buat salat Tahajud. Abang tidurnya nyenyak banget, kayak capek gitu."
"Nggak masalah," balas pria itu.
Diam-diam, Shalima menekan perih yang mendadak terasa. Selama tujuh tahun berumah tangga, belum pernah sekalipun Rahul menatap dirinya dengan penuh cinta. Selalu dingin dan tanpa makna.
"Mau Shalima bikinkan teh?" tawar Shalima.
"Kopi aja."
Sebagai istri yang baik, Shalima merasa harus selalu menunjukkan baktinya kepada suami. Meskipun sikap Rahul selalu dingin, Shalima tetap pada pendirian utamanya, yaitu meraih surga melalui rida kepada sang suami yang telah Allah pilihkan untuknya.
"Tutup jendelanya! Nanti nyamuk pada masuk ke dalam," kata Rahul seraya bersiap beranjak. "Bagas nyariin kamu. Temui dia dulu."
"Iya, Bang. Shalima tutup jendelanya sekarang."
Rahul berlalu tanpa mengindahkan senyum manis dari Shalima. Tak apa, sudah biasa. Dengan senyum yang masih terpatri di bibirnya, wanita itu keluar kamar. Menyiapkan teh hangat untuk Rahul lalu menemui Bagas.
"Yuk, bisa, yuk! Demi surga," gumam Shalima pada diri sendiri.
***
Shalima menemukan Bagas di depan televisi. Buah hatinya sudah terbiasa bangun pagi. Meski baru tujuh tahun, dia keukeuh ingin selalu tahajud setelah melihat Shalima tak pernah meninggalkan salat sunah tersebut. Setelah salat, Bagas tak melanjutkan tidur. Jika tidak belajar, pasti menonton televisi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandiwara Shalima [Tamat]
General FictionTujuh tahun berada di bawah atap yang sama, tak membuat rumah tangga Shalima dan Rahul hidup bernapaskan cinta. Dingin, beku, dan tak saling mengucapkan kata-kata penuh kasih adalah warna yang menghiasi rumah tangga mereka. Tak ada yang Shalima hara...