Sinopsis :
Lolos dari jerat kematian sebanyak dua kali tak lantas membuat Yennifer Oakley Harris merasa bahagia. Wanita berambut pirang yang biasanya tampil anggun dengan pakaian yang modis itu, kini harus terkungkung dalam jurang kegelapan dan kesa...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Langit terlihat begitu mendung dengan kilat yang menyambar di ujung lautan. Tak ada senja yang biasa menyapa. Tak ada suara kicauan burung yang biasa menghiasi indahnya langit sore. Hanya ada deru angin sore yang menerpa pucuk-pucuk dedaunan di antara pohon rindang yang menemani langkah Yennifer yang tertatih. Wanita yang kini memakai dress putih panjang tanpa alas kaki itu terus berlari dengan deraian air mata hingga akhirnya dia terperangkap di tepi jurang yang curam.
Langkah Yennifer langsung terhenti. Hawa dingin tiba-tiba saja menyergapnya bersamaan dengan suara Pieter yang berteriak memanggil namanya dengan begitu kencang dan sirat akan kemarahan.
"YENNIFER!!!" teriakkan Pieter menggema dengan begitu hebat ke segala penjuru karena terbawa angin. Pria dengan setelan kemeja putih yang sudah terlihat berantakan itu langsung berlari mendekati Yennifer sambil menodongkan sebuah senjata api. Beberapa anak buahnya yang sedari tadi ikut mengejar Yennifer pun tampak berpencar ke segala arah-seolah ingin mengepung tawanan boss mereka yang mencoba melarikan diri.
Yennifer yang mendengar teriakkan Pieter pun kemudian berbalik-menatap wajah tampan pria kejam yang selalu menyiksanya. Tak lama, Yennifer tersenyum. Yennifer sadar jika kali ini ia benar-benar akan mati.
Pieter pasti akan membunuhnya.
Jika bisa merubah takdir, maka Yennifer tidak ingin dilahirkan ke dunia. Dia lebih baik tidak dilahirkan daripada harus terus menerus menerima penderitaan. Namun dari semua penderitaan yang ia alami sedari kecil, hidup bersama Pieter adalah penderitaan terberatnya.
Mencintai pria yang telah membunuh bayimu adalah penderitaan terberat yang pernah dirasakan oleh Yennifer.
"KEMBALI ATAU KAU AKAN AKU BUNUH YENNIFER!!!" teriakkan Pieter yang begitu mengerikan, sontak langsung membuat Yennifer memeluk erat perutnya. Dia akan melindungi bayinya apapun yang terjadi kali ini.
Yennifer lalu kembali menatap Pieter dengan begitu terluka. Air matanya mengalir membasahi pipi. Semilir angin menerpa dengan begitu lembut hingga mampu membuat rambut pirangnya berkibar, membingkai wajahnya yang cantik.
Deburan ombak yang menghantam karang terdengar begitu menenangkan, namun itu tak cukup mampu untuk membuat seorang Pieter Dave Wellington luluh. Pria dengan sebuah pistol di tangannya itu masih menatap Yennifer dengan begitu tajam sambil memberi kode kepada anak buahnya untuk mendekati Yennifer secara perlahan.
Sialan! Berani-beraninya wanita itu mencoba melarikan diri!
"Kembali Yennifer," desis Pieter yang sirat akan kemarahan.
Namun Yennifer lagi-lagi hanya terdiam hingga tak lama, wanita itu menggelengkan kepalanya dengan kasar-tanda jika ia tidak mau menuruti perkataan Pieter.
"Aku tidak akan kembali! Kamu akan membunuhku dan juga janinku! Kamu akan kembali memaksaku menggugurkannya! Aku tidak mau kehilangan anakku lagi, Pieter!" teriak Yennifer bersamaan dengan deru angin yang semakin kencang.
Pieter semakin menggeram mendengar teriakkan Yennifer.
Dia muak dengan sikap kekanakkan wanita itu!
"Tangkap dia!" teriak Pieter kepada beberapa anak buahnya yang sedari tadi bersembunyi. Yennifer yang menyadari situasi pun hanya bisa tersenyum sendu.
Hidupnya memang tidak pernah berakhir bahagia. Dia yang selalu menjadi tokoh antagonis di sini. Semua orang membencinya dan menumpahkan semua kesalahan padanya tanpa melihat jika dia juga bisa terluka.
Perlahan Yennifer mulai memundurkan langkahnya-semakin mendekati ujung jurang. Mungkin kematian adalah pilihan terbaik yang diberikan semesta padanya.
"Aku harap kamu akan mengetahui kebenarannya suatu hari nanti. Aku mungkin tidak sebaik apa yang pernah Thomas ceritakan. Tapi demi Tuhan Pieter, aku tidak pernah berniat membunuh siapapun."
Dan ujung kaki Yennifer kini telah menyentuh garis ujung jurang. Selanglah lagi ia mundur, maka penderitaannya pasti akan berakhir. Pieter tersenyum sinis mendengar penuturan Yennifer yang baginya hanya angin lalu.
"Omong kosong! Sekarang cepat kembali atau kau benar-benar akan mati!" balas Pieter yang kemudian benar-benar menarik pelatuk pistolnya-bersiap menembakkan timah panas itu ke tubuh Yennifer. Namun bukannya berjalan kembali, Yennifer malah kembali melempar senyuman sendu yang begitu memuakkan di matanya.
"Aku akan membawa janin ini bersamaku. Maaf karena sering membuatmu marah."
Deg! Ketakutan yang bersembunyi di dalam kelamnya hati, tiba-tiba saja menyergap Pieter dengan begitu hebat saat ia mendengar perkataan Yennifer.
"Selamat tinggal, Pieter. Je t'aime, " gumam Yennifer sebelum akhirnya ia berbalik dan......
Bur!!!!
"Yennifer!!!"
Teriakkan Pieter seolah menjadi debu yang nyata saat ia melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana tubuh rapuh milik Yennifer terhempas ke dalam lautan biru yang luas dengan sangat kencang.
Pria itu terdiam. Matanya tak berkedip. Jantungnya berdetak dengan kencang seirama dengan deburan ombak yang menenggelamkan tubuh Yennifer yang tengah mengandung darah dagingnya. Hantaman ombak di karang hari itu seolah membuat Pieter merasakan sakitnya.
Ketakutannya benar-benar menjadi nyata.
Yennifer membiarkan tubuhnya terhempas ke lautan dengan begitu kencang dan tenggelam bersamaan dengan sinar matahari yang semakin menipis. Lambat laun wanita itu mulai memejamkan mata, dia mengikhlaskan segalanya.
"Sayang, maafkan mommy yang tidak bisa mengantarkanmu melihat dunia. Maaf karena kamu harus hadir di dalam rahim seorang wanita jahat seperti mommy. I love you my baby."
Itu adalah doa yang dipanjatkan Yennifer sebelum tangan yang ia gunakan untuk memeluk perutnya terlepas dan dia benar-benar tenggelam ke dasar laut yang gelap dan ingin.
Wanita itu akhirnya memilih untuk menyerah.
Yennifer akhirnya lebih memilih untuk memejamkan mata-melepaskan segalanya.