"Shey! Kamu cepetan turun!"
Aku tersentak kala teriakan itu terus-menerus diucapkan oleh orang yang sama dan telah puluhan kali dikatakan.
Aku mempercepat aksi mengikat tali sepatu dan bergegas berdiri. Kuraih ransel yang isinya buku dan alat tulis kemudian berlari menghampiri lantai bawah.
Rumah ini begitu megah tetapi teriakan Bang Heeseung masih saja terdengar dari sana. Menakjubkan.
"Shey!" teriak Bang Heeseung, lagi.
Aku meringis. "Iya, Bang."
Tidak butuh waktu lama---sebab aku berlari---aku sudah sampai di depan si empu peneriak.
"Udah telat jadi nggak sempet sarapan, nanti kamu sarapan di sekolah ya." Bang Heeseung menyambutku lalu langsung menarikku menuju pintu depan.
Aku yang tiba-tiba ditarik tidak bisa melakukan penolakan. Langkahku yang kecil terpaksa mengiringi jarak langkahnya yang besar. Aku terseok-seok! Dia sungguh terburu-buru, layaknya buronan yang dikejar polisi.
"Bang...," cicitku, berharap dia mengerti. Namun bukannya didengar, aku hanya diabaikan.
Dalam hati aku mendesis.
Kami terus melangkah cepat, hingga sampailah pada garasi mobil.
"Kamu pergi sama Jay ya, Abang nggak bisa nganter kamu soalnya ada kelas pagi dan ini udah telat banget. Baik-baik di sekolah, jangan buat ulah. Jay sama Sunghoon bakal ngawasin kamu." Dia mengacak rambutku yang tergerai lalu memasukkanku ke dalam mobil. Di dalam mobil ia memasangkan seatbealt.
"Jay, tolong jaga Sheya," pesannya pada Jay yang duduk di sebelahku atau tepatnya di bagian kemudi.
"Hm."
Bang Heeseung kembali melirikku, untuk terakhir kali dia tersenyum manis, setelah itu menutup pintu, beranjak memasuki mobil lain berwarna putih.
Aku memperhatikan dirinya. Hingga mobil yang kunaiki mendadak melaju meninggalkan perkarangan rumah tanpa kesadaranku.
Perlahan aku menggerakan bola mata melihat jok belakang mobil.
Tidak ada siapapun.
Kukira para abangku yang lain akan ada. Kalau begitu, di mobil ini hanya ada aku dan ... Bang Jay?
Aku melotot, baru kusadari sekarang.
"Kenapa lo lama banget?" tanya Jay mendadak.
Aku menahan napas. Dia tampak melirikku sekilas.
Astaga.
Tubuhku panas-dingin, Auranya menguar keluar hingga tenggorokanku tercekat.
"Heh," panggilnya sambil fokus mengemudi. Kulihat mobil telah melaju di jalan raya.
"Shey, jangan bengong."
Dia menjentikkan jari berulang-kali, pada saat itu aku terkesiap.
"Hng? Gimana?" celetukku spontan.
"Belakangan ini gue liat lo sering ngelamun."
"O-oh, iya. Gue kepikirin sekolah."
"Sekolah?" Alisnya tertaut, bingung.
Sontak aku menutup mulut menggunakan telapak tangan, merasa telah salah bicara lagi.
"Iya, maksudnya gue kepikiran temen-temen gue, gimana cara jelasin ke mereka masalah masuk rumah sakit kemarin."
"Nggak perlu diceritain, bikin repot doang."
Dia mengatakannya begitu ringan, tanpa beban. Menggunakan raut datar pula. Dikira mempunyai teman itu tidak sulit? Seperti kata Niki, aku mempunyai dua teman, itu artinya mereka akan bertanya padaku mengenai kejadian ini. Memangnya teman mana yang tidak kepo? Setahuku seorang teman akan cemas bila teman lainnya terluka.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Brothers | ENHYPEN✓
FanfictionChoi Sheya terbangun di rumah sakit seusai koma. Saat pertama kali membuka mata, beberapa cowok dengan wajah rupawan nyaris sempurna mengaku sebagai sosok Abangnya. Anehnya, Sheya tidak mengenal mereka. Dan yang lebih buruk lagi ia tidak mengenal di...