Choi Sheya terbangun di rumah sakit seusai koma. Saat pertama kali membuka mata, beberapa cowok dengan wajah rupawan nyaris sempurna mengaku sebagai sosok Abangnya. Anehnya, Sheya tidak mengenal mereka. Dan yang lebih buruk lagi ia tidak mengenal di...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ini masih hari ini, kan? Xixi
Aku saranin jangan baca👍
Happy reading bagi yang tetep baca👌
"Hah.... Capek," keluhku. Aku menyandarkan punggung pada sofa kafe yang kami tempati sekarang. Tangan kananku kukibas-kibaskan ke arah wajah bermaksud mengipas.
Aku terkekeh, mengambil tisu, mengusap keringat yang membanjiri pelipis dan leher. "Abis seru."
"Aneh, biasa kamu nggak seriang ini." Bang Heeseung menyesap teh hijaunya.
Aku tersenyum kecut. "Masa pertumbuhan hehe."
Niki datang sembari membawa nampan yang berisi kentang goreng, cappucino, tiramisu, serta bolu potong.
"Kenapa? Serius amat."
Kugelengkan kepala. "Nggak ada." Tanganku terjulur mengambil kentang goreng yang dibawa Niki lalu mengunyahnya lambat.
Bang Sunghoon kembali dari toilet, ia mengambil duduk tepat di depanku. Sementara Bang Jay tidak tau pergi kemana, tadi sehabis bermain balap-balapan mobil, ia pergi begitu saja.
"Nih Bang, minum." Aku menyodorkan secangkir cappucino pada Bang Sunghoon. Ia menerima cangkir tersebut lalu mengecap sedikit. Aku turut meminum cokelat panas kepunyaanku.
Niki yang berada di sebelahku menyikut pinggangku menggunakan siku, ia membisikkan sesuatu padaku.
"Cokelat panasnya gue masukin gula satu sendok, kalau kebanyakan nanti lo tambah manis," bisiknya tepat di samping telingaku.
Aku membelalakkan mata, memukul lengannya. "Bisa banget lo."
Ia ikut tertawa, menjauhkan tubuh dariku.
Semenit kemudian Bang Jay datang, duduk di sebelah Bang Sunghoon.
"Darimana kamu?" tanya Bang Heeseung.
"Beli sesuatu," jawab Bang Jay seadanya.
Kami sibuk menghabiskan waktu dengan menyesap minuman masing-masing, sampai Niki mengusulkan sebuah hal.
"Main truth or dare yuk."
"Ha? T...ruth apa?" Aku merapatkan kening.
"Truth or dare," ulangnya. Ia bangkit berdiri lalu berjalan menuju deretan botol kosong, mengambil satu lalu kembali duduk di tempat semula, sebelahku.
Ia menyingkirkan barang-barang yang ada di depan meja tanpa persetujuan kami, sedangkan aku masih tetap mengerutkan kening.
"Bentar, bentar, truth or dare? Permainan apa itu?" Aku tak tau permainan sejenis apa yang dimaksud. Mendengarnya saja baru kini.