C I R C U M S T A N C E S (16)

126 20 9
                                    

"Iya, Jin. Tapi apa alasannya kau memberhentikanku menjadi asistenmu?" sentak Jiwon tepat di depan wajah Seokjin yang kini tengah menikmati sarapannya. Sebentar lagi ia akan pergi ke Gwangju untuk syuting drama.

Jiwon sudah bersiap diri untuk ikut Seokjinㅡ sebagai asisten pribadi. Karena sejatinya tidak ada kalimat berheti menjadi asisten pribadiㅡ sebelumnya. Lalu sekarang, mendadak Seokjin memecatnya. Bagaimana Jiwon tidak kaget?

"Kau itu istriku sekarang," jawab Seokjin tenang, sembari menggigit roti selai kacangnya.

Tak habis pikir dengan jawaban sang suami, Jiwon menghela nafas kesal. "Kau bahkan tahu aku tidak mempermasalahkan itu. Lagipula kau tahu kita menikah karena apa. Jadi, biarkan saja aku tetap bekerja menjadi asistenmu. Aku bisa mati bosan jika harus berdiam diri di rumah," ungkap Jiwon berapi-api.

Benar bukan? badge suamiㅡistri yang tersemat antara keduanya hanya sebagai simbol saja. Mereka  tak saling mencintai. Mengapa harus ada perbedaan seperti ini?

"Lagipula memangnya kau sudah mendapat penggantiku? Kau kan tidak bisa mengurus dirimu sendiri," sindir Jiwon sambil menggigit rotinya dengan kuat.

"Minhyuk bersedia menjadi penggantimu. Jadi, kau tetap harus berhenti."

Minhyuk adalah salah satu staff senior yang bekerja di agensi yang menaungi Seokjin, Jiwon sangat mengenal lelaki berusia awal tiga puluhan itu.

Jiwon melempar rotinya ke atas piring hingga menghasilkan bunyi yang membuat Seokjin menoleh. "Kau ini aneh sekali, Jin. Apa ada yang kau sembunyikan dariku?" selidiknya. Namun Seokjin tak menanggapi kekesalan sang istri. Ia malah menyudahi sarapannya dan beranjakㅡ padahal ia belum selesai.

Jiwon membeku di tempatnya saat Seokjin meraih kepalanya dan menciumnya lembut. Seolah emosinya yang meluap-luap telah melebur seketika dan jangan lupakan jantungnya yang belingsatan. Memang selalu seperti itu reaksi tubuhnya jika ia bersentuhan fisik dengan Seokjin.

"Aku pergi. Jaga dirimu baik-baik saat aku tak ada. Kabari aku minimal satu jam sejaki dan gunakan black card yang kuberikan kemarin untuk keperluanmu, tapi jangan boros. Aku akan berada di Gwangju selama satu minggu. Jadi, tabunglah rindumu," ujar lelaki itu panjang lebarㅡ membuat bibir Jiwon sedikit menganga mendengarnya.

Tanpa menunggu jawaban sang istri, Seokjin segera menjinjing tas besarnya dan beranjak pergi. Ia sudah hampir telat.

Sepeninggal Seokjin, Jiwon menepuk pipinya beberapa kali. "Sebenarnya lelaki itu memiliki sihir apa, sih? Mengapa reaksi tubuhku selalu seperti ini jika ia menyentuhku? Sial sekali," umpat Jiwon.

***

Seokjin merasakan bibirnya nyaris sobek karena sejak tadi ia tak henti-hentinya tersenyum. Bahkan sesekali ia bersenandungㅡ sambil mengendarai mobilnya. Jalanan padat Seoul yang biasanya membuat lelaki itu kesal setengah mati, kini justru terasa menyenangkan.

Ponselnya berdering ketika ia berhenti di lampu merah. Ia tersenyum ketika membaca sebuah nama di layar ponselnya.

"Yeobseo, iya aku sebentar lagi sampai. Kau sudah siap, kan? Tidak, Jiwon tidak tahu. Selesai syuting nanti, aku janji akan menemanimu selama di sana. Baiklah, sampai jumpa. Lampunya sudah hijau," Seokjin mematikan sambungan telepon lebih dulu lalu ia menginjak pedal gas.

Lelaki itu kembali tersenyum mengingat sesuatu.

***

CIRCUMSTANCESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang