Setelah melalui drama yang panjang, akhirnya Seokjin diizinkan masuk oleh gadis kecil itu. Padahal, kamar ini Seokjin yang menyewa juga membayarnya. Lelaki itu kini sedang duduk di tepi ranjang sambil memperhatikan dua orang yang sedang sibuk di sofa, yaitu Jiwon dan Su Ah. Beberapa menit yang lalu, gadis kecil itu merengek minta bolpoin dan kertas untuk menggambar. Ternyata ia suka menggambar. Dengan telaten Jiwon menemaninya dan sesekali memberi arahan. Sedangkan Seokjin, ia menyunggingkan senyumnya. Bukankah sempurna keluarga kecil ini apabila Tuhan hadirkan anak diantara mereka. Namun sayangnya, itu baru sebuah khayalan saja. Karena nyatanya Su Ah hanya gadis kecil asing yang kebetulan mereka temukan.
Jiwon memintanya untuk tidak lapor polisi karena ia khawatir akan membahayakan Su Ah. Beberapa kali gadis kecil itu mengatakan ia selalu dipukul oleh orang yang ia sebut paman. Terkadang, ia dijauhkan dari ibunya. Beberapa menit yang lalu ucapn Su Ah membuat Jiwon dan Seokjin terkejut, gadis itu mengutarakan sesuatu yang membuat mereka yakin bahwa ibu dari gadis kecil itu memang sengaja membuangnya.
"Paman itu dan Eomma katanya akan pergi jauh dan aku tidak boleh ikut," ujarnya dengan wajah datar sambil terus memainkan bolpoin di atas kertas. Ia menggambar seorang wanita dewasa dan gadis kecil yang saling bergandengan.
Sungguh malang nasib gadis kecil itu, pikir Seokjin. Kehadirannya tidak diinginkan oleh ibunya sendiri yang mungkin saja memilih pergi dengan lelaki lain yang kaya raya. Persis seperti kisah dalam drama. Seokjin jadi berpikir, apakah sikap Su Ah padanya tercipta karena adanya rasa trauma terhadap laki-laki dewasa. Karena Jiwon tadi juga sempat menanyakan keberadaan ayah gadis itu, namun jawabannya sungguh mencengangkan. "Appa? Appa pergi setelah memukul eomma sampai berdarah dan tidak pernah pulang lagi. Setiap hari appa suka marah dan memukuli eomma." Bukankah sudah jelas? Selama ini Su Ah dikelilingi oleh orang-orang yang membuat psikisnya terganggu.
"Su Ah ya, kau mau paman pesankan makanan? Kau mau apa?" tanya Seokjin ketika ia menyadari ini sudah jam makan malam dan mereka pun sejak tadi sore tak mengkonsumsi apapun.
Su Ah menghentikan kegiatannya, ia mengangkat wajah untuk menatap ke arah Seokjin. Untuk beberapa saat ia terdiam. Ekspresinya tampak terkejut. Seperti baru saja menyadari bahwa ada orang lain selain dirinya dan Jiwon di ruangan itu. Gadis itu menjatuhkan bopoinnya dan mendadak merapat ke arah Jiwon.
"Su Ah ya, Paman Seokjin orang yang baik. Dia suami bibi. Jadi, kau jangan takut padanya, ya?" bisik Jiwon sambil mengelus kepala gadis kecil itu.
"Apa dia tidak akan memukul aku? Apa dia juga tidak akan memukul bibi?" tanyanya lirih, namun tentu saja Seokjin masih bisa mendengarnya dengan jelas. Hal itu membuat hati Seokjin rasanya hancur. Seberat itu ternyata rasa trauma si gadis kecil.
"Tidak, Sayang. Percaya pada bibi, ya?" Su Ah merespon dengan anggukan meski mimik wajahnya masih tampak ragu.
"Sekarang katakan pada Paman Seokjin! Kau mau makan apa malam ini?"
Su Ah mengalihkan pandangannya pada Seokjin yang masih duduk di tepi ranjang. Tatapan gadis itu terlihat ragu, takut namun juga tersirat sinyal meminta perlindungan. "Aku mau makan Gogigui, boleh?"
Seokjin tersenyum mendengarnya. "Tentu saja boleh. Jadi, kau mau malam ini kita pesta barbeque, ya? Baiklah. Paman akan pesankan."
Tak sampai tiga puluh menit semua peralatan dan bahan untuk Gogigui yang Su Ah inginkan sudah tersaji. Mereka sekarang sedang duduk di lantai dengan alas karpet. Seokjin mulai menyalakan pemanggang elektrik dan Jiwon menata bahan.
"Kau mau coba menaruh dagingnya di atas pemanggang?" tanya Seokjin pada Su Ah yang duduk di sampingnya. Meski terlihat ragu, Su Ah mengangguk.
"Kemarilah!" Seokjin menepuk pahanya agar gadis kecil itu duduk di sana. Awalnya Su Ah ragu, namun ia teringat ucapan Jiwon yang entah mengapa membuatnya terdoktrin. "Paman Seokjin orang yang baik." Akhirnya ia bergerak perlahan lalu memposisikan diri di atas paha Seolkjin yang duduk bersila.
"Kau pegang sumpit ini …" Seokjin memegang tangan mungil Su Ah lalu mengambil sumpit di meja. "Lalu ambil satu lembar dagingnya dan letakkan di atas pemanggang," ujarnya sambil mempraktekkan secara langsung. "Mudah, bukan?" tanyanya yang direspon anggukam oleh Su Ah.
Acara barbeque mereka berlangsung cukup menyenangkan. Su Ah sudah tak secanggung dan sewaspada seperti tadi ketika berinteraksi dengan Seokjin. Gadis kecil itu mulai bisa menampakkan senyumnya walau tipis. Tepat pukul sembilan, mereka selesai makan malam. Namun, peralatan makan masih belum dibereskan. Tiba-tiba, Su Ah yang duduk di pangkuan Seokjin menkatuhkan kepalanya sambil terus mengunyah potongan daging terakhir.
"Aigoooo … setelah kenyang dia mengantuk rupanya," Seokjin tertawa sambil menyangga kepala gadis kecil itu. "Biar kubopong ke kasur," lanjutnya lalu beranjak.
"Aku akan bereskan ini, lalu kita istirahat," ujar Jiwon.
Su Ah sudah tertidur pulas, Jiwon juga sudah selesai membereskan perlatan yang mereka gunakan untuk makan tadi. Saat ini mereka bertiga tengah berbaring di ranjang dengan Su Ah yang berada di tengah.
"Jin, bolehkah Su Ah tinggal bersama kita? Dia tak punya siapa-siapa. Aku ingin merawatnya," ucapan Jiwon membuat Seokjin terkejut hingga ia bangkit secara sepontan.
Gunungkidul, 27 Oktober 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
CIRCUMSTANCES
Fanfic"Because of the circumstances, i'm willing to give my only valuable treasure to a man who doesn't love me." ~ Han Jiwon. "Because of the circumstances, i'm willing to marry a girl that i don't love." ~ Kim Seokjin. "Beacuse of the circumstances, th...