"Because of the circumstances, i'm willing to give my only valuable treasure to a man who doesn't love me." ~ Han Jiwon.
"Because of the circumstances, i'm willing to marry a girl that i don't love." ~ Kim Seokjin.
"Beacuse of the circumstances, th...
Berulang kali Seokjin menyunggingkan senyumnya tanpa sadar ketika memperhatikan Jiwon yang bermain di tepi pantai. Dari balkon kamar ia bisa melihat Jiwon berlarian bersama seorang gadis kecil, entah anak siapa. Mungkin salah satu pengunjung pantai. Satu hal yang baru saja Seokjin ketahui, istrinya ini memiliki jiwa keibuan. Terlihat dari caranya berinteraksi dengan anak kecil ituㅡ meski baru kenal dalam hitungan menit. Hal itu membuatnya berhalusinansi. Bagaimana jika ia dan Jiwon memiliki seorang anak? Seokjin kembali tersenyum dibuatnya.
"Aigooo ..." desahnya.
Lelaki itu menyesap teh mawarnya ketika merasa kerongkongannya mengering. Jiwon benar, ia jadi ketagihan meminum teh mawar. Ini sudah cangkir keempat yang ia pesan melalui pegawai resort. Selera gadis itu tentang kuliner memang lumayan bagus. Ia tahu sejak pertama Jiwon bekerja sebagai asisten pribadinya.
"Aigooo ..." desahnya lagi. Kali ini karena cangkirnya kosong. Ia ingin memesan lagi, tapi ia merasa kasihan pada pegawai resort yang harus kembali ke kamarnya. Akhirnya, ia putuskan untuk bergabung dengan Jiwon dan gadis kecil itu.
Mereka sedang membuat istana pasir, hal yang paling umun dilakukan ketika bermain di pantai. Jika dilihat dari dekat, sepertinya gadis kecil itu berusia empat tahun.
"Annyeong ...apa aku boleh bergabung"
Sapaan Seokjin membuat dua orang yang sedang sibuk dengan tumpukan pasir itu menoleh. Si gadis kecil yang lebih dulu merespon. Ia bangkit dan berdiri di hadapan Seokjin sambil merentangkan kedua tangannya.
"Bibi, lindungi istana kita. Raksasa ini pasti akan menghancurkan istana kita," seru gadis kecil itu dengan memasang wajah galak, namun malah membuat Seokjin tertawa.
"Jangan tertawa. Aku sedang memarahimu, Raksasa!" ia menghentakkan kaki kanannya. Gelak tawa Seokjin semakin keras. Setelah berhasil menghentikan tawanya, lalu lelaki itu berjongkok di hadapan si gadis kecil yang belum ia ketahui namanya.
"Aku bukan raksasa. Aku ini pangeran," jelas lelaki itu dengan nada lembut. Ini kali pertama ia berinteraksi dengan anak kecil secara langsung.
Si gadis kecil itu mundur beberapa langkah dan mengamati sosok Seokjin dari ujung kepala hingga ujung kaki. Entah Seokjin salah lihat atau tidak, tatapan kebencian dari gadis kecil itu padanya sangat terlihat. Padahal ini kali pertama mereka bertemu. Hal itu membuat Seokjin menyipitkan matanya. Ia melirik sang istri guna mencari jawaban atas pertanyaan di kepalanya. Namun, Jiwon hanya tersenyum.
"Su Ah ya, dia bisa membuat istana yang lebih besar lagi," seru Jiwon.
"Benarkah?" tanya gadis kecil yang bernama Su Ah tersebut. Jiwon memberi isyarat pada Seokjin untuk mengiyakan, agar Su Ah bisa luluh.
"E ... Eoh. Tentu saja," jawab lelaki itu lalu meraih ember gantung kecil di dekat kaki Su Ah dan mulai membangun istana besar yang dimaksud Jiwon.
Mereka bertiga akhirnya bahu-membahu membangun istana bersama, meski Su Ah masih sangat terlihat menjaga jarak dari Seokjin. Su Ah beberapa kali menarik diri ketika Seokjin berusaha mendekatinya, berupaya agar bisa akrab dengan gadis kecil itu. Tak bisa dipungkiri, momen seperti ini membuat Seokjin semakin menginginkan sosok anak dalam keluarga kecilnya.
"Jah ... benar, kan? Paman bisa membuat istana yang jauh lebih besar?"
Di luar dugaan, Su Ah berdiri lalu menarik tangan Jiwon. Mengajaknya pergi dari tempat itu. Seokjin pikir, gadis kecil itu akan luluh dengan hasil karyanya, minimal bersorak bahagia karena Seokjin berhasil membuat istana yang jauh lebih besar dan indah. Namun anehnya, Seokjin merasa tidak kesal ketika dirinya ditolak secara terang-terangan seperti ini. Justru hatinya hancur. Entah mengapa ia ingin Su Ah menerimanya.
Seokjin berlari kecil mengejar dua gadis beda usia tersebut. "Istananya kurang besar, ya? Paman akan buatkan yang jauh lebih besar. Kau mau?" bujuknya. Su Ah menggeleng dan terus berjalan sambil menggenggam erat tangan Jiwon. Meresa tak ada harapan, Seokjin akhirnya berhenti mengejar. Namun diam-diam ia mengikuti mereka.
Jiwon membawa gadis kecil itu ke kamar mereka. Sialnya, Seokjin tak dizinkan untuk masuk. Terpaksa ia menunggu di kafetaria resort. Jiwon berjanji akan segera menghubunginya. Namun, sudah lebih dari satu jam, istrinya itu belum juga memberi kabar.
"Jin, maaf. Kau menunggu lama." Jiwon datang dengan nafas agak tersengal, mungkin ia berlari menuju kafetaria.
"Tak apa. Bagaimana anak itu? Apa dia tidur?"
"Ya. Sepertinya dia kelelahan."
"Sebenarnya siapa dia? Lalu, kemana orangtuanya?"
Jiwon diam. Ia tampak kebingungan.
"Kenapa kau diam?"
"Jadi, begini …"
Jiwon menceritakan bagaimana awal mula pertemuannya dengan gadis kecil bernama Su Ah tersebut. Saat ia keluar dari resort menuju pantai, seorang wanita muda datang menghampirinya bersama gadis kecil dalam gandengannya.
"Nona, maaf. Apaandabisamenolongsaya?" tanya wanitaitudenganpanik. Pelipisanya pun penuhdenganpeluh. Sementaragadiskecil yang bersamanya pun terlihattersengal-sengal. Sepertimerekahabisberlaribelasan kilometer.
"Untukapa?" tanya Jiwon.
"Saya titipputrikusebentar. Saya adaurusan yang sangatmendesak. Ininomorponselku, nantiandabisahubungisaya." Wanitaitumenyodorkansecarikkertasbertulisansederetangka.
"Apa kau sudah menghubunginya?" panik Seokjin.
"Nomor ponselnya tidak aktif. Aku bingung harus bagaimana?"
"Kita lapor polisi saja." Seokjin hendak berdiri namun Jiwon menahannya.
"Sepertinya Su Ah dalam bahaya, Jin. Sebelum tidur, ia bilang padaku kalau paman itu sering memukulnya. Entahlah siapa yang dia maksud."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
(Su Ah)
Mohon maafbarubisa update. Apakah ada yang menunggukisahWonJin?