"Lama banget!"
Seruan protes itu hampir membuatku terlonjak. Aku memang terbiasa berjalan dengan pandangan menunduk apabila sudah sampai di lingkungan kontrakanku. Juga karena rasa letih sudah beberes dan belanja bulanan. Tadi pagi. aku baru baru diperbolehkan kembali ke kontrakan setelah negosiasi panjang dengan Mama –yang mengatakan bahwa sebaiknya kembali minggu depan-. Tentu saja tidak bisa. Selain karena dua dari keponakanku tinggal di rumah bersama kakek neneknya, aku tidak bisa mengatur jadwalku dengan baik saat ada di rumah. Terlalu bising dan banyak hal yang harus kukerjakan disana.
Keluargaku juga bukan keluarga kaya raya. Segala kebutuhan rumah terpenuhi dengan baik tapi memang tidak berlebih. Apalagi untuk jalna-jalan memboyong keluarga besar. Keseharian kami hanya cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari karena sumber dana kami hanya dari satu pintu, dari Papa. Baru lima tahun terakhir ini Mama membuka jasa konveksi dan berkembang lumayan pesat. Jatiuwung memang kawasan pabrik, jadi memang sangat cocok untuk membuka jasa konveksi. Biasanya kami menerima orderan dari orang-orang pabrik yang memerlukan seragam.
Perekonomian kami lumayan tercukupi. Papa yang sudah berakhir jabatan strategisnya di Bank BUMN akhirnya ikut Mama mengelola konveksi. Dulu saja, bayar uang kuliahku sudah ngos-ngosan. Untunglah Mama memiliki jiwa wirausaha dengan semangat tinggi hingga bisa membantu Papa dalam segala hal.
Hal yang membuatku beruntung selanjutnya adalah karena aku kuliah di Jogja. Sehingga tidak perlu memusingkan biaya hidup karena dengan lima ribu rupiah saja sudah bisa makan dengan layak. Tidak perlu bertanya itu tahun berapa, karena sekarang Jogja berkembang pesat dan sudah terlalu ramai. Meskipun saat aku kuliah, kota penuh kenangan itu juga sudah ramai oleh pendatang.
Kembali lagi pada satu sosok manusia yang datang seenaknya ke kontrakanku ini. Dia berdiri di depan pintu dengan seragam putih hitamnya yang khas. Lengan kemejanya digulung hingga sikut dan wajahnya sudah cukup letih. Ada tas dibalik punggungnya. Biasanya dia mengenakan jaket, kemana jaketnya?
Aku baru saja kembali dari belanja bulanan di supermarket yang berjarak tidak jauh dari lingkungan kontrakanku. Maklum saja, baru selesai libur panjang. Sudah waktunya aku membeli perlengkapan rumah karena persediaan bahan makananku menipis.
Dia memang sudah menghubungiku untuk mampir dari pagi. Seingat ingatan pendekku, aku sudah mengatakan padanya bahwa aku sedang sibuk membereskan rumah dan belanja bulanan.
"Berdiri sepuluh menit aja lo udah merengek," aku mencibir padanya. Tanganku mencari kunci di dalam tas dan membuka pintu rumah.
Dia seenaknya mengikuti. Bahkan sudah membuka sepatunya dari tadi.
Hardian Darma Attaya memang luar biasa. Aku hanya mendengkus saat dia sudah mendaratkan pantatnya di kursi santaiku. Matanya menatap lurus padaku. Aku mengabaikan pandangannya dengan berberes barang belanjaan.
Sebenarnya, aku masih enggan berteman dengannya. Kami sudah memutus hubungan pertemanan sekitar setahun yang lalu. Sebuah drama yang mengingatnya saja membuatku jengkel dan kesal setiap melihat Hardi hingga hari ini.
"Ada keperluan apa Bapak Hardian datang kesini?" aku membuka suara karena Hardian masih saja menatapku dan tidak mengatakan apapun.
"Emang jarak Jatiuwung ke Cempaka Putih, tuh, lima jam banget ya sampai lo baru balik sore begini?"
Aku mengangkat alisku, meletakkan salah satu teh kemasan dingin di depannya. Belum ingin menanggapi, aku membuka kulkas dan mulai mengatur minuman dinginku satu persatu.
"Pertama, hak gue memutuskan balik jam berapa dari rumah. Kedua lo ngapain buru-buru kesini? Lo lagi enggak ada kerjaan?"
"Kalau tahu lo lama begini ... mending gue jemput aja lo tadi pagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Allure | ✓
General FictionF-Universe #1 Gianny Andin Jovanca percaya bahwa sebenarnya perempuan dan laki-laki bisa 'hanya' sebatas sahabat. Setidaknya sampai Hardi datang kembali ke kehidupannya dan menawarkan sesuatu yang lain. Masalahnya bukan pada Hardi, tetapi pada dirin...