Kami berdua tewas.Ketika aku terbangun, Hardi masih tertidur disampingku dengan lengannya yang masih memelukku. Dadaku sedikit berdesir melihat betapa tenangnya wajahnya yang tidur. Ini bukan pemandangan pertama untukku. Tetapi, –mengikuti naluri, aku merasa ada yang berbeda dengan wajahnya saat ini sehingga memutuskan untuk memandanginya lama lama sembari mengusap kepalanya pelan, agar dia tidak terbangun karena gangguan jemariku.
Dia benar-benar tampan, Ya Tuhan. Atau karena aku sudah terbawa suasana dengannya ... dia berkali-kali lipat lebih tampan?
Aku bukannya tak menyayangi Hardi. Tentu saja aku menyayanginya. Karena itulah aku tidak kuasa menolaknya langsung dari awal, tatapan Hardi yang kecewa mengusikku. Aku tidak pernah suka melihat dia gundah dari dulu, entah karena masalah perempuan atau masalah kehidupan. Dia selalu memberikan positive vibes bagi orang-orang disekitarnya, sehingga saat dia mendapat masalah ... aku merasa tidak tega. Tetapi, jika aku menolaknya, akulah yang menjadi sumber kekecewaannya. Aku tidak ingin membayangkan hal itu.
Segera kusingkirkan tangan itu untuk membasuh wajahku. Gila. Kami sudah tertidur lebih dari dua belas jam. Memang, kami kembali ke Semarang pada sore hari kemudian dilanjutkan berkeliling sebentar di Kota Lama. Lepas pukul tujuh malam, kami sudah tepar karena terlalu lelah.
Aku membasuh wajahku dan menarik napas panjang. Bahkan setelah tidur panjangku, aku masih merasa penat. Memutuskan untuk segera mandi dengan air hangat, aku benar-benar ingin menyegarkan badanku. Setelah selesai bebersih, Hardi masih terlelap.
Kembali. Aku memandang tubuhnya yang begitu tenang. Aku menggeleng pelan dan memutuskan untuk memesan makanan untuk sarapan kami. Meskipun ada perasaan risau yang begitu menghimpit dadaku saat ini.
Apa yang sebenarnya sedang aku dan Hardi jalani? Kata sahabat dekatpun sudah tidak cukup menggambarkan apa yang dari kemarin kami lakukan.
Pertanyaannya adalah...
Sanggupkah aku menerimanya sebagai pasanganku?
Sebelumnya, tidak pernah terbayangkan kami ada di posisi seperti ini. Kebersamaan kami membuatku yakin bahwa kami memang cocok berteman. Tetapi, dua hari terakhir ini, ini benar-benar diluar kendaliku.
Benar lirik lagu yang dinyanyikan Camelia Cabello, friends don't know the way you taste. Aku mengusap wajah dan memakai skincarek. Setengah merenung, memikirkan setiap detik yang kebersamaan kami saat ini.
Saat kembali nanti ... apakah kebersamaan ini akan berlanjut?
Tapi dia mengatakan dia akan menikahiku? Benarkah?
Pengalaman mengajarkanku bahwa hal terakhir yang harus dipercayai adalah kata-kata. Aku tak ingin percaya pada kata-kata, tapi ucapannya benar-benar mengganggu pikiranku. Apalagi aku menemukan ada secercah harapan yang muncul dari dasar hatiku karena ucapan itu.
Yang membuatku justru ketakutan.
"Loh? Udah bangun?!"
Aku membalikkan badan dan mengangguk singkat. Hardi mengerinyitkan dahi dan berjalan ke arahku. Saat dia akan memberikan kecupan singkat –yang entah kenapa sangat dia sukai dari kemarin, aku menghindar dengan berdiri.
"Gue mau ambil makanan kita dulu," pamitku tanpa menatapnya. Menggenggam ponsel dengan erat, aku memutuskan menunggu di Lobby saja. Sebaiknya Hardi berberes terlebih dahulu tanpa terganggu wajahku yang terlampau banyak pikiran ini.
Saat makanan yang kupesan datang, aku kembali dengan berjalan sangat pelan. Membunuh waktu lebih tepatnya. Sebagian diriku masih menolak apa yang terjadi, sebagian lagi sepertinya telah mengkhianatiku dari kemarin. Buktinya, aku mau-mau saja bahkan bodohnya, aku menikmatinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Allure | ✓
General FictionF-Universe #1 Gianny Andin Jovanca percaya bahwa sebenarnya perempuan dan laki-laki bisa 'hanya' sebatas sahabat. Setidaknya sampai Hardi datang kembali ke kehidupannya dan menawarkan sesuatu yang lain. Masalahnya bukan pada Hardi, tetapi pada dirin...