Part 24

13.7K 2.4K 205
                                    


Kewarasan baru menyapaku saat aku membuka mata keesokan harinya, kulihat Aiden sedang tertawa-tawa, dia berada tepat di depanku saat ini.

"Hihihi," dia tertawa lagi, sesaat kupikir Kak Alia sudah bangun, ternyata belum sama sekali. Aiden berjalan menuju Kak Alia dan memandangku.

"Kok Mama belum bangun ya, Bu?"

Aku menatap nanar Aiden dan menarik napas panjang. Kupikir semua kejadian ini hanyalah mimpi, tadinya, sampai aku mencubit diriku sendiri dan menyadari satu hal.

Tidak sama sekali, ini kenyataan.

Kepalaku memang tidak seberat tadi malam -mungkin karena aku tidur cukup mengingat betapa teriknya matahari saat aku membuka mata. Aiden kemudian duduk disofa memainkan tabletnya.

"Tadi Om Dokternya kesini, Bu," katanya memberitahu.

"Oh ya?"

"Cuma sebentar terus pergi lagi," aku bahkan hampir lupa ini hari Sabtu dan Aiden tidak masuk sekolah.

Aku sedikit termenung, ada satu lagi yang kuharapkan semua itu hanya mimpi.

"Bu?" Aiden tersenyum. "Tadi aku coret-coret wajah Ibu. Hihihi"

Aku mengernyitkan dahi sebentar sebelum akhirnya mataku terbelalak. "AIDENNNN! JANGAN USIL!" dan anak itu hanya tertawa, aku mendengkus dan masuk ke dalam kamar mandi.

Saat melihat wajahku yang sembab aku baru tersadar, tadi malam... Sama sekali bukan mimpi.

Aku lalu memikirkan bagaimana aku mengakhiri semuanya. Hardi masih berusaha menghubungiku setelah dia mengucapkan oke seperti bertanya aku ada dimana dan meminta untuk menjawab teleponnya terlebih dahulu, aku memilih mengabaikan karena aku sudah terlampau lelah.

Badanku rasanya benar-benar remuk dan kepalaku belum bisa berpikir dengan normal. Jika ada satu hal yang kuinginkan sekarang, aku ingin menghilang untuk beristirahat. Sebentaaar saja, rasanya tubuhku benar-benar butuh rehat dari semua kejadian hidupku.

Pikiran akan diriku sendiri langsung menghilang ketika aku mendengar suara ponselku berbunyi. Aku segera keluar dari kamar mandi setelah memastikan coretan Aiden sudah hilang dan mengusap wajahku dengan tisu. Ponselku berbunyi lagi. Sesaat kupikir Hardi yang menghubungiku, aku baru akan mematikan benda itu saat melihat bukan Hardi yang menghubungiku, tapi Juli.

"Gi, lagi ngapain?"

Aku diam sebentar. "Habis dari kamar mandi gue, kenapa?"

"Gue hari ini udah stay di rumah sakit nih, jadinya sesar. Lo mau datang kesini?"

Aku berdiam sebentar. "Kayaknya gue enggak bisa deh, Jul. Maaf"

"Kenapa?"

"Gue lagi sibuk aja... Ada yang kacau,"

"Lo enggak dikontrakankan?"

Aku menimbang jawaban yang akan kuberikan kepada Juli. "Enggak, Jul." Sepertinya aku tahu kenapa Juli menghubungiku pagi ini.

Juli menghela napas dalam diseberang sana. "Are you okay, Gi?"

Aku meringis mendengarnya. Sebenarnya aku juga tidak terlalu tahu makna kata itu, seluruh hidupku terasa kacau tetapi aku masih bisa beraktivitas dengan baik. Bukankah itu pertanda bahwa aku harusnya baik-baik saja? Aku bisa berbohong kepada Juli bahwa aku baik-baik saja, tapi jauh didasar hatiku aku sendiri tahu betapa kacaunya diriku saat ini, dengan pemikiran-pemikiran ini. Dengan keadaan yang harus kuhadapi sekarang.

"Hardi yang nyuruh lo hubungi gue ya?" Tembakku langsung.

"Gi, dia--"

"Gue lagi enggak mau bahas dia, Jul. Sorry,"

Allure | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang