"Enggak ada cewek yang bisa lo apelin?" Aku penasaran. Saat ini, aku dan Hardi tengah memakan nasi goreng di daerah Kramat. Bagaimana tidak penasaran? Dia selalu saja menemuiku bahkan disaat kemarin dia baru saja pulang dari Jambi karena ada rencana proyek tol disana. Dia pasti sangat lelah. Tetapi, bisa-bisanya menemuiku malam ini untuk makan bersama.
Sekarang bukan hanya intensitas pertemuan kami yang sering, kedekatan ini mulai sangat rumit. Jika Hardi tidak menghubungi, aku yang akan menanyakan keadaannya. Tidak sih, dia selalu menghubungi, bahkan untuk hal-hal kecil yang dia lakukan.
Untuk sebatas teman, bukannya ini sudah keterlaluan?
Hardi memakan nasi gorengnya hingga habis dan menatapku datar. "Kenapa? Ini gue lagi ditanya siapa yang lagi deket sama gue gitu?"
Aku terkekeh dan mengangguk. "Gue penasaran aja. Lo sama gue terus, kapan waktunya buat cewek lain? Yang lain juga butuh diperhatiin, kali."
Hardi mengabaikanku. "Yuk kalau udah selesai." Dia mengalihkan pandangan ke arah piringku yang masih tersisa banyak. Selalu saja dia seperti ini, seperti aku tidak diizinkan untuk mengetahui kehidupan pribadinya. Kalau aku tidak bertanya, dia tidak akan menceritakannya sama sekali.
Aku kan juga penasaran dengan kehidupan percintaannya pasca putus dengan Erlina.
Tapi lagi-lagi, aku mengalah. Mengikuti kemauannya yang tidak akan membalas pertanyaanku tadi. Aku mendengkus. "Lo enggak lihat ini masih banyak?" Protesku. Aku kembali makan dengan terburu-buru.
"Santai aja. Lagian lo juga, bukannya ngehabisin makanan malah kepo-in kehidupan gue."
"Lo enggak pernah bahas. Gue juga pengin tahu."
Hardi bergeming, aku meliriknya singkat dan melanjutkan makanku. Dia hanya memainkan tanpa niat melanjutkan pembahasan ini. Yasudahlah, kalau seseorang tidak mau cerita pada, mau diapakan lagi? Aku kadang merasa sangat tahu keseharian Hardi namun disatu sisi aku juga merasa tidak tahu apa-apa tentang dirinya.
"Enggak ada," dia kemudian memperlihatkan list chat whatsappnya kepadaku. Memang dari grup semua sih.
Aku menyipitkan sebelah mataku. "Tadi lo hapus atau lo arsip dulu kan?"
Hardi menegakkan tubuhnya, seolah sangat kaget. "Astaga, Gianny. Enggak percayaan banget lo!" Dia kemudian meletakkan ponselnya. "Kemarin gue dihubungi Erlina, sih." Terangnya, membuatku menghentikan makanku, aku menatapnya antusias.
"Trus ... trus?"
"Ya biasa. Gitu-gitu aja."
Aku mengerinyitkan dahi. "Hah? Gitu-gitu gimana?"
Hardi menghela napasnya dan menatapku. "Ya ... cuma nanya kabar aja."
"Enggak lo modusin? Lo paling jago berkata manis."
Hardi mengangkat bahunya. "Masa sama dia lagi sih? Bosen deh." Aku langsung memukul mulutnya pelan dengan sendokku, yang langsung ditepisnya dengan gerakan jauh lebih cepat. Aksi bar-barku memang selalu bisa dibaca olehnya.
"Kemarin ngeluh enggak ada pacar, sekarang ada yang deketin menjauh. Jual mahal banget! Berasa keren kayak Hamish Daud ya lo?" Aku menyelesaikan makan nasi gorengku dengan sendok baru dan menatapnya. "Emang kalian kenapa sih putusnya? Lo belum pernah cerita."
Hardi lagi-lagi hanya diam. Terkadang, hanya kadang-kadang, aku merasa tatapan Hardi hanya tertuju padaku. Seperti saat ini, dia menatapku dalam sekali seolah tidak ada objek lain yang bisa ditatapnya. Tatapan yang membuatku salah tingkah dan takut mengartikan apapun.

KAMU SEDANG MEMBACA
Allure | ✓
Ficción GeneralF-Universe #1 Gianny Andin Jovanca percaya bahwa sebenarnya perempuan dan laki-laki bisa 'hanya' sebatas sahabat. Setidaknya sampai Hardi datang kembali ke kehidupannya dan menawarkan sesuatu yang lain. Masalahnya bukan pada Hardi, tetapi pada dirin...