Part 25

16.1K 2.4K 135
                                        



Hardi benar-benar mengantarku sampai ke rumah sakit meskipun sepanjang perjalanan kami hanya diam. Tidak juga sih, Hardi berusaha membangun percakapan basa-basi kepadaku dan semua itu tidak bisa menutupi suasana canggung diantara kami. Setidaknya dari percakapan basa-basi itu aku berhasil memaksanya untuk jangan bertemu denganku dulu sebelum keadaan mulai stabil. Dia mengatakan oke. Entah kenapa, ucapan oke dari Hardi terdengar begitu menyebalkan.

Semua pikiran itu segera kutepis saat mengingat keluargaku.

Sesampainya di rumah sakit, Kak Alia sudah membuka matanya dan terlihat tengah bercanda dengan Aiden.

"Ibu!" Sapa Aiden setelah tertawa-tawa bersama Kak Alia.

Aku mengedarkan pandangan, Kak Ananta tidak terlihat sama sekali. Baru akan menanyakan kepada keberadaannya Kak Alia saat Kak Ananta masuk ke dalam ruangan. Kalau dia sampai tidak ada, aku ingin memakinya saat itu juga. Kak Alia juga tampak sudah bisa tertawa karena candaan Aiden. Aku menatap semua itu sembari menghela napas.

Semua kembali seperti biasa.

Setidaknya semuanya sudah lebih baik.

Napasku tercekat saat melihat kedua orangtuaku masuk ke dalam ruangan bersama bang attar. Aku menatap Kak Ananta dengan pandangan menuntut.

"Gia! Kok enggak bilang mama kalau Alia sakit?" Mamaku duduk disebelahku dan menjawil pipi tembemku, aku tersenyum pelan dan menggelengkan kepalaku.

"Katanya mama juga opname?"

"Cuma dua hari."

Aku menghela napas dalam dan memeluk mama. "Maaf Ma, Gia enggak sempat pulang."

Kedua orangtuaku menghela napas melihat keadaan Kak Alia, aku tidak tahu apa yang Kak Ananta dan Bang Attar ucapkan pada mereka, tapi tanpa dijelaskanpun sepertinya kedua orangtuaku sudah bisa menebak apa yang terjadi.

Aku hanya duduk bersandar di sofa saat Cia memeluk Kak Alia dengan rindu. Dia pasti juga sudah merindukan mamanya. Aku memeluk Aiden yang sedang menggambar disampingku, gambar itu yang tengah dia tunjukkan tadi ke Kak Alia.

"Ibu! Ini bagusnya isi apa ya?"

"Ini apa? Sawah?"

Aiden menganggukkan kepalanya.

"Danau aja," saranku untuk mengisi kekosongan diantara sawah dan gunung. Aiden memilih crayonnya dan menganggukkan kepala.

"Minggu depan sudah boleh pulang?" Tanya papa melihat kepadaku.

Aku menganggukkan kepalaku.

"Alia di rumah dulu saja. Sampai benar-benar sehat."

"Aiden?"

"Aiden mau ke rumah opa sama oma?"

Aiden terdiam, kemudian menatapku. "Sekolah?"

Mamaku menatap aiden dengan lembut. "Aiden mau tinggal sama Ibu?" Kemudian dia menganggukkan kepalanya dengan semangat.

"Kenapa?"

"Bisa sekolah. Bisa gambar."

Aku tersenyum tipis menatap Aiden dan mengacak rambutnya pelan. Mama dan Papa mengajak Kak Ananta dan Bang Attar berbicara diluar. Aku seperti biasa tidak dilibatkan dalam percakapan penting itu.

Kak Alia menatapku.

"Makasih, Gi."

"Hm. Nyusahin aja lo," dumelku pelan. Aku kembali menatap Aiden yang sedang menggambar. Pikiranku setidaknya sudah menemukan titik terang, aku tidak lagi merasa sendirian menghadapi semua ini dan bisa menetralkan emosi yang cukup meledak pada diriku beberapa hari ini.

Allure | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang