"Baguslah lo berdua putus, enggak cocok jadi pasangan."
Aku dan Juli spontan menoleh ke arah pintu dan mendapati Ardityo sedang menatapku dengan pandangan aneh. Apa-apaan sih? Datang-datang nimbrung enggak jelas, matanya juga menatapku dengan pandangan malas.
"Apaan sih?" Tukasku langsung. Ardityo berdiri di antara kami, sedang Juli tersenyum tipis padaku.
"Satu lempem banget sama lo, satunya batu. Satunya pengecut, satunya egois," ujarnya yang membuat darahku semakin mendidih. Dia kan tidak tahu permasalahannya, bisa-bisanya memberikan cap seperti itu kepada orang lain.
Aku menghembuskan napas kasar, Ardityo mencium pelipis Juli dan Grysha dengan lembut. "Gue sama Juli juga ngelewatin masa-masa mau udahan aja kali, Gi. Tetapi, kami pilih bertahan," ujar Ardityo pelan, menatap lurus padaku. Aku mengalihkan pandangan darinya, rasanya seperti aku disidang sendiri.
Juli akhirnya menggendong Grysha pelan dan meletakkannya diatas kasur, bayi kecil itu telah tertidur. "Enggak usah bikin rusuh deh," tegurnya pada Ardityo dan mengajak kami keluar dari kamar. Aku menurut saja dan mengikuti langkah keduanya, saat aku melewati ruang tengah, aku bisa melihat Hardi juga tengah mengatur posisi Aiden yang telah terlelap.
Aku mendekat padanya. "Udah tidur?" Tanyaku berbisik, Hardi sedikit kaget dengan pertanyaanku dan menatapku sekilas.
"Eh, udah," dia kembali mengatur kaki Aiden yang agak terlipat.
Aku menganggukkan kepala ringan, saat aku melirik ke arah Ardityo dan Juli, mereka tengah menggelengkan kepalanya dan segera mengeluarkan bungkusan makanan yang mereka berdua beli.
"Di, Aiden udah makan malam?" Tanyaku baru teringat, kalau Aiden tidak makan biasanya dia akan terbangun tengah malam.
"Udah tadi disana, dia ngeluh lapar, jadi khusus dia enggak dibungkus." Dia terkekeh pelan. "Cepet banget akrab sama orang lain. Pinter anaknya ya?"
Aku tertawa dan mengangguk.
"Mau sampai kapan lo berdua pedekate disana? Gue sama Juli udah lapar banget ini,"
"Sabar, bangsat," Kata Hardi dan menyusul Juli dan Ardityo yang sudah duduk lesehan di ruang tamu. Aku memerhatikan punggung Hardi yang berjalan di depanku, bahkan sampai hari ini aku masih kebingungan dengan perasaanku yang sebenarnya padanya.
Tapi ada satu hal yang membuatku penasaran, kenapa saat itu Hardi langsung saja mengatakan oke saat aku meminta putus, tidak mau memberikan penjelasan hingga sekarang dan juga tak lagi memaksakan perasaannya seperti dulu? Karena jika diingat, mendapatkan kata iya dariku saja dia sudah sangat berusaha.
Sudah menyerahkah dia atau.... sudah memiliki orang lainkah dia?
"Gianny!"
Aku kaget dengan panggilan itu tanpa sadar ketiganya sudah menatapku, aku seperti orang kebingungan memandangi mereka satu persatu. Hardi mencondongkan tubuhnya padaku. "Ngelamunin apa sih?" Tanyanya nyaris berbisik.
Seperti orang tak tahu arah, aku hanya menggelengkan kepalaku dengan lemah.
***
Aku kadang ingin membenturkan kepalaku sendiri ke dinding jika otakku mulai berpikir hal-hal yang berada diluar nalarku. Sebuah pemikiran yang tadi datang sebelum makan malam membuatku begitu terganggu, bahkan sampai sekarang, saat kami sudah kembali ke rumah kontrakanku.
Aku berusaha untuk meredam rasa penasaran dengan memikirkan bahwa semua itu bukan urusanku dan itu sudah hak Hardi ingin melanjutkan hidup seperti apa. Balik lagi, aku yang memintanya untuk berhenti. Jadi aku harusnya tidak terlalu terganggu bukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Allure | ✓
General FictionF-Universe #1 Gianny Andin Jovanca percaya bahwa sebenarnya perempuan dan laki-laki bisa 'hanya' sebatas sahabat. Setidaknya sampai Hardi datang kembali ke kehidupannya dan menawarkan sesuatu yang lain. Masalahnya bukan pada Hardi, tetapi pada dirin...