Bab 10

16.8K 2.5K 115
                                        



Aku menarik napas panjang. Belum kerumitan hubunganku dan Hardi membuat beban hidupku semakin meningkat. Aku juga harus menghadapi sesuatu yang lain. Musim masalah tampaknya sudah datang. Padahal dari kemarin-kemarin belum ada masalah yang cukup berarti.

Ini bukan masalah baru dalam hidupku. Sudah berulang dna aku juga sudah cukup muak mendapati lagi-lagi seperti ini. Bukannya tergerak untuk menyelesaikan, aku malah jengkel setengah mati.

Aku memejamkan mataku sembari menarik napas sekali lagi, tangan kukepal keras-keras untuk menetralisir emosiku. Aku semakin merapatkan airpodsku ke telinga, mendengarkan penuturan demi penuturan dari orang seberang sana.

"Terus, gimana?" Tanyaku pada akhirnya. Aku menatap keluar jendela dan mendapati diriku sudah akan sampai di tempat tujuan.

"Sementara Aiden dirumah dulu aja."

"Pindah sekolah dulu sementara. Saranku, Ma," jawabku pelan, menatap keluar jendela dan kembali mendengar keluh kesah Mamaku dari Jatiuwung sana.

"Aidennya nangis-nangis dan nolak."

"Di rumah Kak Ananta aja kalau gitu," usulku pada akhirnya, Mama menarik napas panjang diseberang sana.

"Kamu tahu Ananta banyak urusan. Pergi-pergi terus setiap hari. Anaknya aja satu enggak bisa diurus."

"Terus gimana? Sama aku dulu?"

"Jangan dong, Gi. Kamu enggak ngerti jaga anak."

"Gia ngerti kok, Ma."

Aku mengusap keningku dengan kasar. Masih jengkel dengan apa yang terjadi. Kak Alia lagi-lagi bertengkar dengan Bang Nando. Jika Mama sudah mengetahui, itu bukan lagi bertengkar biasa, sudah bertengkar besar. Kak Alia sudah seminggu ini tidak menginap di rumah, tapi malah di kos. Aiden yang sudah pandai menggunakan ponsel menelepon orangtuaku untuk minta dijemput. Hal itu karena dia tidak diberikan eskrim kesukaannya oleh kakakku.

Aku baru mengetahuinya dua jam yang lalu. Napasku sesak sekali rasanya, tidak tahu apa yang memberatkanku. Aku mengusap pelan air mata yang tiba-tiba jatuh begitu saja dari sudut mataku.

"Terus Mama sama Papa dimana sekarang?"

"Lagi di jalan jemput Aiden."

Aku menganggukkan kepala. "Ma, Aku udah mau sampai Semarang. Kalau udah di hotel aku telepon lagi."

"Hati-hati ya, Nak."

"Iya, Ma."

Aku merasakan udara tak lagi bersahabat padaku bahkan hanya untuk menarik napas dengan normal. Dadaku sesak, aku selalu benci situasi ini tapi aku juga tidak bisa melakukan apapun. Kepalaku berat, tanganku memijit kepalaku yang terasa pusing. Kenapa enam tahun terakhir kondisi keluargaku jadi begini? Aku tidak menyayangkan. Hanya saja entah kenapa aku merasa... ini semua mulai berat.

Aku mulai merasa lelah dengan semua ini. Dengan masalah ini. masalah serupa yang selalu terjadi dalam beberapa tahun terakhir.

Aku tidak tahu apa yang kutangisi sepanjang perjalanan ini. Kubiarkan orang-orang memerhatikanku mengusap berkali-kali wajahku. Aku tidak pernah menangis meraung-raung dan selalu menangis dalam diam. Tetapi, kali ini rasanya sesak sekali.

Aku paling tidak bisa mendengar suara mama menangis atau tidak bisa melihat wajah sedih Mama. Sudah enam tahun terakhir darah tinggi Mama selalu naik karena nasib dua anaknya yang tak bahagia. Selalu saja ada masalah yang datang.

Apa jadinya jika aku menikah dengan Petra kemarin?

Sudahlah.

Aku pasti hanya menambah beban batin kedua orangtuaku.

Allure | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang