What the hell is going on?
Aku membalikkan badan setelah menerima panggilan dari Bu Amiza—pemilik usaha yang akan kudatangi, beliau menanyakan kepadaku apakah aku jadi ke Magelang atau tidak. Aku menjawab dengan ramah, mengatakan bahwa aku akan berangkat dari Semarang. Bu Amiza terlihat begitu ramah menyambutku, mungkin karena jalinan pesan yang kami lakukan juga cukup seru selama aku pendekatan dengan beliau.
Bagaimanapun, memilih partner bisnis ... tetap harus melakukan pendekatan. Aku pernah beberapa kali mencoba bekerjasama dengan orang-orang yang kurasa bisa memasok kebutuhan bisnisku dengan baik, namun sayangnya beberapa sangat tidak ramah. Hingga aku memutuskan untuk mencari partner lain.
Hilangnya satu partner pasti mengurangi rezeki. Meskipun aku juga percaya dengan konsep rejeki tidak akan kemana, Tuhan pasti tidak akan membiarkan kita sendirian menjalani kehidupan ini. Ya, bagaimana Tuhan akan membantu kalau kita tidak berusaha? Menjadi ramah misalnya. Bagiku, ketidakramahan menjadi seorang pedagang adalah hal yang harus disingkirkan jauh-jauh. Dulu saat bekerja kantoran, aku tidak memikirkan hal ini, karena keseharianku hanya deadline, deadline dan deadline. Sebenarnya ini tidak bisa dibandingkan karena ini dua hal yang berbeda. Meskipun pekerjaanku yang sekarang sangat merepotkan karena semuanya harus kupersiapkan sendirian, sampai hari ini aku tetap enjoy melakukannya.
Aku masuk kembali ke dalam apartemen dan pemandangan wajah Hardi yang mengeras menghiasi netraku. Aku duduk disampingnya, tampak dia masih marah padaku. Rautnya wajahnya menyebalkan dan bibirnya mengatup.
See? Hardi tak sebegitu dewasa di depanku.
Dia bisa bertransformasi jadi bocah menyebalkan dalam hitungan menit yang membuatku kadang lupa bahwa dia dua tahun lebih tua dariku. Dulu, dia juga pernah seperti ini, saat awal-awal aku pedekate dengan Petra. Kupikir saat itu dia hanya cemburu karena temannya tiba-tiba mendapatkan seseorang yang lebih dekat lain. Ya wajar saja, kami memang sedekat itu.
Matanya menatap lurus kearah televisi. Sejak kapan dia menonton doraemon?!
"Di?"
"Apa?"
"Kita mau pergi loh ini."
"Gue udah siap ini."
Yasudahlah, dari pada aku ikut emosi karena dirinya lebih baik aku mengambil diam. Dia berdiri dan menuju kopernya, mengganti pakaiannya di depanku tanpa malu sedikitpun. Mataku menatapnya datar, dia bahkan tidak berniat melirikku sama sekali.
Aku menghela napas, baru setelahnya dia menoleh padaku.
"Kenapa lo?"
"Gini banget hidup."
Hardi mengerinyitkan dahi.
"Bawa orang ngambek gini bakalan susah nih di jalan."
Hardi berjalan mendekat yang membuatku langsung terkesiap. Kurasakan jantungku berdegup saat dia berdiri tepat di depanku. Aku yang tengah duduk ditepian ranjang mulai waspada ketika dia merendahkan tubuh dan condong kepadaku.
"Gi, lo mau nyari yang gimana? Gue... enggak sedikitpun masuk dalam kriteria lo?" pertanyaan yang menjadi sangat pentingkarena dia mengucapkannya dengan keseriusan yang luar biasa. Membuatku semakin gugup.
Aku dan Hardi memang tidak pernah berada di dalam situasi seserius ini. Kami selalu mengalihkan semuanya dengan bercanda. Bahkan, ketika dia kembali datang setelah pertengkaran hebat karena blokir-an itu. Aku masih bisa menyambutnya dengan hangat sekalipun dia harus terus menerima sindiran pedasku.
Situasi sangat serius seperti ini membuat rasa canggung menguar tak terkendali diantara kami. Bahkan hanya untuk bertatapan dengan Hardi, aku merasa tidak bisa. Dia benar-benar mengintimidasiku dengan tatapannya. Aku menggelengkan kepala pelan sekali ketika matanya masih menuntutku untuk memberikan jawaban.

KAMU SEDANG MEMBACA
Allure | ✓
General FictionF-Universe #1 Gianny Andin Jovanca percaya bahwa sebenarnya perempuan dan laki-laki bisa 'hanya' sebatas sahabat. Setidaknya sampai Hardi datang kembali ke kehidupannya dan menawarkan sesuatu yang lain. Masalahnya bukan pada Hardi, tetapi pada dirin...