Part 27

17.7K 2.4K 154
                                    



"Gi, city-night date yuk?"

Aku baru akan mengajukan protes saat Hardi sudah membelokkan mobil dan mencari tempat parkir. Aku berdecih pelan memandanginya. Saat sudah terparkir dengan rapi, aku mengikuti Hardi keluar dari mobil.

Kami jalan beriringan, melewati pintu-pintu stasiun MRT dan duduk di pinggir jalan bersamaan dengan es kopi yang sempat kami beli sebelum pulang tadi.

Hardi meminum es kopinya. "Keren banget lo, udah kayak pengusaha kelas kakap."

Aku memandanginya. "Di, kosakata lo yang gampang dimengerti kenapa?"

Dia tertawa pelan, matanya sedikit menyipit karena tawanya. "Ya habis lo jelasin ke Ayuk tadi udah kayak pengusaha sukses."

"Aamiin. Gue aminkan yang itu," aku menatap kendaraan yang masih berlalu lalang. Jujur saja, aku masih merasa canggung kepada Hardi setelah ciuman terakhir itu. Perasaan yang kutelan dan kukubur dalam-dalam setiap bertemu dan melihatnya. Kenyataan bahwa ternyata aku masih menginginkannya dihidupku membuatku bimbang melangkah ke arah mana.

"Jadi gimana? Mau nerima ajakan pedekate Windy?"

Hardi berdecak. "Gia, lo pura-pura bego apa gimana sih?"

Berbeda dengan sebelumnya yang penuh dengan kecepatan tinggi, Hardi tak lagi membahas hubungan kami, dia tampak lebih berhati-hati dan juga tidak memaksakan kehendaknya. Sedikit demi sedikit, aku merasa Hardi mulai memahamiku.

"Ceritain dong rasanya jadi single parent?" Aku terkekeh pelan mendengar pertanyaannya, kami sepertinya memang sudah lama tidak berbicara berdua seperti ini.

"Bahkan dengan anak yang udah segede Aiden, gue tetap harus.. ngomel. Amazing!"

Hardi meneguk minumannya dan menatapku lagi, kecanggungan kembali terjadi. Aku mengalihkan pandangan karena jantungku mulai berdegup tak karuan. Tatapan Hardi yang seperti ini benar-benar membuatku kikuk, seolah dia bisa menelisik hal-hal yang kusembunyikan saat ini juga.

"Bagus dong, latihan jadi Ibu beneran," Hardi mengalihkan pandangan menatap jalanan di depan.

"Gia," panggilnya pelan, aku menoleh.

"Gue minta maaf karena enggak ada disamping lo, waktu itu." Hardi menatapku dengan sungguh-sungguh. Sesaat aku merasa waktuku berhenti menatap matanya. Inilah yang kutakutkan dalam beberapa bulan terakhir, kami mulai membahas semua ini. Mereka ulang kejadian itu dalam percakapan santai.

Benarkah.. kami berdua sudah siap?

"Gue menyesal setiap detik karena tahu kondisi lo waktu itu, juga enggak tahu harus ngapain. Merasa kesempatan udah enggak ada di depan mata gue."

Aku memilih diam.

"Gue kesal lo ngomong putus waktu itu, gue kesal karena lo selalu gampang bilang pergi, selalu nolak, selalu nyuruh gue mundur, selalu nyuruh gue sama yang lain. Gue ngerasa harusnya lo dengar penjelasan gue dulu, gue capek. Gue sampai enggak sadar panggilan lo malam itu enggak wajar." Hardi menghela napas dalam menghentikan ucapannya sejenak. "Lo enggak pernah ganggu dengan panggilan-panggilan enggak jelas. Kalau lo udah hubungi gue, berarti lo lagi ada apa-apa kan? Berengseknya gue lagi sama Erlina. Gue nyalahin Pandji yang bawa gue malam itu, nyalahin Erlina yang mabuk enggak jelas, nyalahin lo yang minta putus sembarangan, tapi setelah gue tahu semuanya, gue malah enggak berhenti nyalahin diri sendiri."

"Hardi, lo enggak salah. Gue yang... menumpukan semua harapan sama lo. I'm so sorry."

Hardi tertawa sumbang. "Itu lebih bikin gue lebih berengsek lagi, Gi. Gue yang maksa-maksa dari awal supaya lo jadi pacar gue, gue juga yang selalu maksa lo buat nikah. Gue enggak peduli dengan ketakutan lo. Gue pikir gue yang dirugikan dari sikap lo."

Allure | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang